Api Dalam Semangkuk Madu
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
Adalah Bapak, satu-satunya pria di rumah ini. Lamat-lamat terdengar serak knalpot motor yang menyelinap di antara derau air hujan. Deru knalpot yang selalu terdengar seperti kerbau kecapaian itu sudah pasti milik Bapak. Aku bergeming dari posisi berselesehan di depan televisi karena Emak dengan sigap membukakan pintu rumah. Acara Famili 100 yang dibawakan Sonny Tulung sedang asyik-asyiknya untuk dilewatkan.
Bapak menyeruak masuk dengan jaket kusam favoritnya yang kini sedikit basah. Di tangannya ada sebungkus plastik yang kutebak berisikan dua potong kue bolu kukus. Satu untuk Emak, sisanya diberikan padaku. Malam ini Bapak membawa kue bolu kukus warna merah muda yang telah dingin. Mau bagaimana lagi, kue bolu kukus ini adalah sisa konsumsi rapat pagi. Bapak lalu duduk di sofa yang telah keluar karet pegasnya untuk melepas sepatu.
“Lembur lagi, Pakne?”
“Iya, Bune.”
“Mau dibuatin kopi atau makan sekalian? Ada nasi dari kenduri, mau dibikinin nasi goreng?”
“Kopi aja, Bune. Aku ini mau ngantor lagi. Jadi ndak lama di rumah.”
Emak cemberut, kendati langsung menuju dapur membuat pesanan Bapak. Dari kakek kuketahui bahwa pernikahan Bapak dan Emak sudah diatur keluarga. Dari pernikahan tersebut tak banyak membuahkan hasil. Hanya aku satu-satunya anak dan pohon mangga di depan rumah yang ditanam bertepatan resepsi pernikahan.
Cukup lama sampai Emak selesai membuat kopi, mengantarnya pada Bapak.
“Ini uang buat belanja, Bune.” Bapak menaruh beberapa lembar sepuluh ribuan di meja. Kartini-Kartini itu terlihat sedikit lembab karena rembesan air hujan. Tak lama kemudian Bapak bergegas pergi setelah meminum kopi hingga tandas. Bahkan satu jeda iklan pun belum lewat.
Hanya ada hening untuk beberapa saat.
“Bapak itu cari uang buat bayar sekolah kamu.” Emak menerangkan tanpa kutanya. Aku yang tak ambil pusing hanya menatap nanar pada layar televisi sambil melahap bolu kukus. Duduk pada posisi bersedeku memeluk lutut sembari mendengar ceracau Emak pada malam yang makin melarut. Beliau lalu melanjutkan ceracaunya, “Buat beliin kamu baju. Kalau Bapak ndak lembur semalaman, kita mau makan sama apa? Kalau bukan Bapak yang kasih duit buat sekolah kamu, mau jadi apa kelak?”
“Iya Mak, Marni ngerti.”
Angin malam tanpa tahu adat menerobos jendela dari kayu sengon yang mulai keropos terkena tampiasan air hujan. Aku seperti terkena cubit genderuwo, bulu kuduk berdiri. Sehabis menonton Famili 100, kutengok jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku beranjak menuju kamar tidur sementara Emak masih bertahan di ruang depan. Mungkin menunggu kepulangan Bapak.
Oh ya, nama bapakku Pramono. Pramono saja.
***
Kalau tidak sedang lembur atau semacamnya, biasanya Bapak pulang ketika adzan maghrib selesai diteriakkan dari surai di pinggir sawah. Beliau akan pulang dengan mengenakan satu-satunya jaket yang dipakai seharian, peluh yang membasahi sekujur muka, dan rambut berantakan oleh keringat. Hal yang paling mengerikan dari Bapak yang baru pulang tentu saja tatkala emosi tak tertahankan, yakni ketika masalah kantor yang tak terselesaikan. Hanya saja, akhir-akhir ini Bapak lebih jarang marah. Kalau tak salah, Bapak pernah bilang ada karyawan baru yang luar biasa becusnya mengurus peradministrasian kantor.
Maka dari itu, saat Bapak pulang dengan tampilan berbeda, serta-merta keheranan terbit di raut mukaku dan Emak.
Jaket usang yang selalu Bapak kenakan berganti dengan jaket kulit warna coklat tua, menambah kesan maskulin bagi Bapak. Kumis dan jenggot yang berantakan tak terawat itu dicukur sangat rapi, tak seperti pada biasanya. Terlebih saat kulirik pada jok belakang motor yang biasanya selalu kosong itu, kini terdapat sesosok yang sangat ayu -tentu saja bukan Emak- dibawa Bapak masuk ke dalam rumah. Emak hanya dapat memasang muka seperti orang yang tidur sore lalu dibangunkan secara paksa.
“Masuk Sri, ini rumahku.”
Sosok ayu itu masuk ke dalam rumah. Keberadaannya begitu kontras dengan sofa buluk warna toska yang luntur dan dinding penuh bercak hitam karena lembab. Pakaian sosok ayu itu membuatku dan Emak yang lusuh ini serupa gembel jalanan. Aku masuk ke ruangan dengan perasaan tak karuan. Emak membuntutiku di belakang.
“Belikan penganan di warungnya Yu Rum, Mar.” Emak memberiku selembar sepuluh ribuan. “Sama buatkan teh manis.”
Meski dari luarnya terlihat tegar, kurasa perasaan Emak jauh lebih campur aduk ketimbang denganku. Bahkan, saat ia menyuruhku, matanya terlihat nanar dengan pandangan yang menatap jauh ke manik mataku seakan menuntut jawaban.
Aku hendak bergegas ke warungnya Yu Rum demi Bapak memasuki dapur dan menghalangiku. Bertiga kami berada di ruang dapur yang membuat terasa sesak. Beliau lalu melarangku untuk membeli penganan karena secara sengaja Bapak sudah mempersiapkannya. Kacang kulit kering dan sekotak pukis yang tak dapat menghalau seruak wangi vanili.
Bapak menyuruh Emak menemui tamu itu. Emak menaatinya setelah sedikit merapikan rambut dan baju di depan kaca bening lemari bufet. Aku menyibukkan diri dengan membuat tiga gelas teh manis dan menata makanan. Pukis yang Bapak bawa malam ini terlihat begitu menggiurkan: gemuk, harum, dan masih hangat. Ini sangat berbeda dengan bolu kukus dingin yang biasa ia bawa. Harumnya begitu memabukkan. Lapar terbit di perutku, namun begitu tak sedikit pun perasaan ingin memakan pukis maha menggiurkan itu. Pukis itu terlihat terlalu mewah untuk standar kehidupan keluarga kami. Sama seperti sosok ayu yang Bapak bawa malam ini.
Dengan nampan, kubawa makanan yang sudah kutaruh di atas piring dan gelas berisikan teh manis. Pukis dan kacang kulit ditaruh di tengah meja. Lalu gelas teh ditaruh di depan masing-masing hadapan orang. Emak duduk sendirian. Sedangkan Bapak duduk sekursi dengan sosok ayu itu. Sosok ayu itu mengenkan kemeja putih dipadu dengan rok hitam mini yang sekuat tenaga ia pertahankan agar tidak tersingkap.
Aku kembali ke dapur.
Malam ini, jangkrik sangat berisik meneriaki kegelapan malam. Malam menjadi ramai karenanya. Mereka seperti mencemoohku yang berniat menguping pembicaraan di ruang tamu. Biar begitu, tirai pembatas ruang tamu menuju dapur terlalu tipis untuk menutup ketegangan antara Bapak dengan Emak. Mereka benar-benar bersitegang di hadapan tamu yang tertunduk dalam-dalam penuh sungkan.
“Kamu ini ndak ngerti apa-apa!” teriak Bapak lepas kendali.
“Lho? Siapa bilang?! Memangnya kamu becus apa ngurus anak kita Marni?” Namaku disebut. Kawan, sebenarnya tidak sopan sekali bertengkar di hadapan tamu. “Lha wong kamu aja jarang-jarang di rumah. Beraninya ngatain aku ndak becus ngurus anak! Ndak terima aku dikatain kayak gitu!”
Seketika wajah Bapak memanas. Disusul dengan hembusan napas panjang dan berat. “Sudah ... sudah ... jangan teriak-teriak kayak gitu. Malu didengar tetangga.” Bapak mencoba menutupi kekalahannya.
“Dasar laki-laki, beraninya menang sendiri!”
Brak! Bapak memukul meja kayu ruang tamu hingga peyot. Emak berjingkrak kegirangan, berdiri dengan posisi tangan berkacak pinggang. “Laki laki, kalau kalah jadi main kasar ya!”
“Asmiati!”
Emak terkesiap. Sangat tidak sopan sekali menyebut nama asli pasangan. Apalagi di hadapan tamu yang kelihatan sekali ia salah tingkah. Matanya mulai merah berair. Sepersekian detik kemudian Emak meninggalkan ruang tamu. Menuju kamar, lalu menguncinya rapat. Beberapa saat kemudian kudengar bunyi serak motor Bapak meninggalkan rumah. Diikuti samar-samar tangis lirih Emak dari dalam kamar.
Aku masih di dapur dalam keadaan kebingungan harus berbuat apa.
Tak sampai sejam kemudian, Bapak pulang. Wajahnya lebih bersahabat. Setelah mengusap rambut ubun-ubunku dan menyuruhku masuk ke kamarku, Bapak mengetuk kamar Emak perlahan. Aku masih berdiri bergeming untuk tahu apa yang terjadi selanjutnya.
“Bune, Pakne pengen ngomong sesuatu,” bujuk Bapak dari luar kamar.
Dari dalam kamar, Emak berteriak. “Mau ngomong apa lagi, Pram?! Dari luar saja!”
“Ndak enak didengar Marni.”
Namaku disebut lagi. Lalu hening. Jangkrik yang sedari tadi membuat suasana semakin ribut, sepertinya telah kecapaian meneriaki kegelapan. Aku jadi bisa mendengar suara langkah kaki yang diseret. Diikuti suara orang membuka kunci pintu. Lampu 5 watt yang redup sedikit menyinari wajah Bapak seiring terbukanya pintu kamar. Rambut Emak kusut, matanya lebam karena terlalu lama menangis.
Angin masih berhembus menyambut tengah malam.
***
“Bapakmu mau kawin lagi, Nduk.”
Aku terhenyak. Pisau di tangan nyaris terjatuh. Kuletakkan pisau yang sedianya kugunakan untuk mengiris-iris bawang itu. “Maksud Emak?”
Lalu Emak menengadah. Menatap atap rumah yang hitam karena jamur. Bukan. Pandangan Emak kosong sama seperti hatinya.
“Bapakmu mau kawin lagi.” Hanya itu yang keluar dari bibir Emak.
Kami melanjutkan aktivitas kami sendiri-sendiri. Aku mengiris bawang putih sedang Emak dengan lamunannya. Aku sendiri, meski tangan bergerak memotong bawang yang nantinya akan dipakai untuk menumis cah kangkung, pikiranku melayang ke mana-mana. Aku tak menyangka Bapak yang selalu sempat menyisakan kami bolu kukus sisa rapat pagi itu bermaksud poligami. Itu berarti Bapak harus menyisakan satu bolu kukus lagi. Ataukah Emak dan wanita itu harus berbagi? Kulirik Emak, wajahnya lebih kusut dari Mak Lampir. Mana berani kutanyakan apakah ia menyetujui keputusan Bapak.
“Sudahlah, Mak. Diikhlaskan saja.” Tahu apa aku tentang ikhlas. Bahkan di umurku yang telah melewati tiga belas kali musim hujan ini banyak sekali yang ingin kucerca pada Tuhan. Emak sedang malas mengobrol. Jadi kudiamkan Emak dalam kondisi seperti itu. Kemudian kami melanjutkan aktivitas masing-masing. Kali ini aku memotong cabai merah kering sedangkan Emak tetap dengan lamunannya.
Aku sungguh ingin ikut campur, namun merasa sungkan karena belum cukup umur.
***
Dari Bapak, aku tahu segalanya. Sosok ayu dengan rok mini yang ia pertahankan mati-matian agar tak tersingkap itu adalah calon istri Bapak. Semalam Bapak bercerita dengan bangga. Namanya Sri Nastiti, enam tahun lebih muda dari Bapak. Entah apa yang membuat sosok ayu yang hendak menjadi ibu tiriku berhasrat dipersunting Bapak. Entah cinta atau pada harta yang tak seberapa.
“Sudah makan, Nduk?” tanya Emak ketika aku memasuki kamar beliau. Akhir-akhir ini Emak sering mengurung diri di dalam kamar. Bergulat pada segurat duka mendalam pada segumpal darah bernama hati.
“Sudah, Mak,” jawabku berbohong hanya untuk menenangkan hati Emak. Aku hanya tak sedang bernafsu untuk makan. Pun ketika Bapak mulai membawa pukis setiap kali pulang. Andai Bapak tahu, aku lebih suka bolu kukus dingin yang membuat tenggorokan kering ketimbang pukis hangat dan terlalu manis yang entah di mana ia beli.
Aku tahu Emak sakit hati saat setiap malam Bapak meminta restu darinya untuk mengawini Sri Nastiti. Kendati pada akhirnya beliau menyetujui hasrat Bapak untuk kawin lagi, nyata sekali Emak melakukannya terpaksa. Biasanya beliau akan melakukan tindakan berbahaya jika berada dalam kondisi tertekan. Makanya aku sekarang lebih sering bersama Emak ketimbang nongkrong di depan televisi. Untuk saat ini, pokoknya jangan sampai Emak bunuh diri.
“Bapakmu itu mau kawin lagi, Nduk.” Entah sudah berapa kali aku mendengar kalimat superpesimis itu dari sosok galak Emak.
***
Pramono senang. Tak sampai sepekan lagi ia resmi menjadi suami Sri Nastiti. Janda kembang tanpa anak yang ditinggal suami lantaran telah almarhum. Janur kuning telah dipesan. Diambil dari janur tertinggi pucuk pohon kelapa. Konon warnanya kuning langsat bak kulit Sri. Undangan telah disebar. Kerabat mulai berdatangan dari Bogor: kampung halaman Sri. Mereka sudah dipesankan hotel dan siap hadir dalam resepsi pernikahan dua hari lagi. Catering dan tata rias sudah beres. Tarup sudah dipasang seminggu sebelumnya. Pohon mangga depan rumah sengaja dipangkas agar tak menghalangi. Tak nampak sesuatu yang di luar kontrolnya. Singkat kata, hanya menunggu hari-H keberangkatan Sri dari status yang melekat setengah miring: janda.
“Haduhh ... yang mau nikah lagi!” ledek seorang sahabat. Pramono dan sahabat-sahabatnya sedang nongkrong di pos ronda seberang surau sambil sesekali taruhan toto dan menenggak ciu. Sudah lama sejak Pramono nongkrong bersama, sehingga kedatangannya dielu-elukan. Terlebih soal rumor mengenai paras Sri Nastiti yang begitu cantik serupa penyanyi kenamaan dari negeri jiran.
Pramono sendiri hanya menunjukkan perasaan senang. Kadang rasa senang akan terpancar dari sorot matanya yang binar. Kadang rasa senang akan terpancar dari padangan matanya yang begitu tenang. Dan bila sudah demikian, Ia akan mudah mengumbar perasaan.
Kepada para sahabatnya, Pramono berujar, ia senang bisa mempersunting Sri Nastiti. “Selain pintar ngurus administrasi perkantoran, keluarganya banyak duit.”
Demi mendengar kata duit, wajah Pramono semakin senang. Lama Pramono berujar tentang Sri Nastiti. Dan ketika sampai pada Asmiati sebagai objek cerita, Pramono mencibir, “Ia punya banyak kekurangan. Sudah belasan tahun menjadi istri masih saja kagok mengurus anak. Apalagi mengurus keluarga. Bah!” Pramono menjulurkan lidah. Jelek sekali.
Kemudian malam mulai bercerita. Tentang angin yang berembus berenang menuju tengah malam. Begitu pulang dari tongkrongan, Pramono terperanjat mendapati tetangga ramai memenuhi halaman rumahnya. Beberapa orang mencangking ember yang menyisakan sebagian kecil air. Sisanya hanya ribut-ribut memandang pada reruntuhan bangunan yang nyaris tak berupa. Malam itu, api memakan rumah Pramono. Menyisakan Marni dan Asmiati hilang ditelan malam yang semakin pekat.
***
Ada segurat sesal di wajah Emak.
“Kita mau ke mana, Mak?”
Emak hanya diam.
“Mak?”
“Sssshhhhh!! Kamu ini berisik terus!”
Disentak sedemikian hebatnya membuatku urung berbicara. Kereta api pertama baru diluncurkan jam dua dini hari. Bahkan sekarang pun belum sampai tengah malam. Jadi kami hanya duduk-duduk di deretan kursi yang memang khusus dibuat untuk penumpang.
“Kita pulang yuk, Mak?”
Aku mengiba. Namun Emak sama sekali tak berhasrat menjawab. Tak lagi aku berani menunjukkan pertanyaan berulang. Saat ini kami berada di stasiun kota, terkecuali Bapak. Rumah berada jauh di seberang sana. Butuh sejam lebih melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor dari rumah menuju stasiun.
Bapak pasti direpotkan oleh ulah Emak. Sungguh, aku khawatir pada rumah yang dibakar Emak.
***

No comments: