Hikayat Nawa dari Hutan Bunian
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
Adalah sebuah hutan, terlampau besarnya. Luasnya berhektar-hektar dan dirimbuni berbagai rupa pepohonan. Konon menurut penduduk desa di dekatnya, hutan ini merupakan keramat. Lempar biji, jadi tumbuhan; lembar kayu, jadi pohon; lempar terasi, jadi rawa; pun saat lempar garam akan jadi samudra. Kemasyhuran hutan ini tidak terbatas pada penduduk dekat desa, namun juga sampai ke seluruh Nusantara. Orang-orang pada berdatangan sekedar untuk berburu cerpelai berbulu sutra maupun tembakau berlapis tembaga.
Meski begitu, apa yang ada hutan itu haruslah tetap di sana. Sekalipun telaganya berairkan susu, hewan-hewannya terkadang menyaru, dan sekali pernah turun salju; penduduk desa paham betul jika hutan itu adalah sumber hal-hal buruk. Sekali peristiwa, adalah seorang penduduk memetik kemangi di pinggiran hutan untuk dimasukkan ke sup kerapu kuah asam. Malangnya, setelah santap malam seluruh keluarga itu malah jadi gemblung. Kali lain seorang bujang berburu pelanduk di dekat telaga dalam hutan, demi mendapati bahwa pelanduk tersebut merupakan jelmaan dewi kayangan. Maka, dikutuklah bujang tersebut sampai mandul.
Maka, atas tetuah sesepuh dibuatlah pagar batu yang mengelilingi hutan tersebut. Tingginya hanya sebatas leher bujang, namun sudah cukup untuk memberi batas antara hutan dan kawasan penduduk. Lalu, hal-hal berkaitan dengan hutan tersebut dianggap tabu. Tak seorang penduduk yang berani masuk, tak sehelai daun dari hutan tersebut dipungut, bahkan mengarahkan telunjuk ke arah hutan konon akan mendapatkan kutuk. Atas keangkerannya, penduduk desa kemudian sepakat untuk menyebut hutan tersebut dengan nama Hutan Bunian.
“Sungguh aku bukan makhluk bunian!” teriak Nawa pada lakinya.
“Diam kau! Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kau menanak nasi! Hah, pantas saja beras-beras di lumbung masih tertimbun seberapapun seringnya dapur mengepul!” sergah Jakataru pada bininya.
Jakataru dan Nawa adalah laki-bini yang sudah setahun kawin. Mulanya Jakataru adalah bujang yang menghabiskan waktu dengan berburu. Namun begitu Hutan Bunian dipingit pagar, ia dan bujang-bujang lainnya beralih profesi menjadi petani. Jakataru sadar betul jika ia sama sekali tidak becus mengurus sawah, terlihat dari hasil panen yang sekadar empat karung kecil gabah dalam setahun. Tak seperti Badrun yang sampai lusinan. Itulah sebabnya Jakataru menaruh curiga saat waktu berlalu dan tak sekarung gabahpun berkurang dari lumbung. Padahal gabah milik Badrun hanya tersisa setengah karung dan sudah bikin bininya yang gempal ngamuk-ngamuk.
“Itu semua hanya salah paham, Kakanda!” seru Nawa berderai air mata.
Tangisannya yang pecah mau tak mau menarik perhatian tetangga sore itu. Mulanya tetangga yang berdatangan menanyakan gerangan. Lalu setelah Jakataru menerangkan perkaranya, ekspresi wajah mereka sama: muntab sebesar-besarnya. Dengan kasar, ditariklah rambut Nawa. Digeret paksa seperti lembu yang menolak pulang saat hari beranjak petang. Nawa diarak menuju rumah Tuan Lengit, yaitu seorang yang dituakan oleh penduduk setempat.
“Ada apa ini?” tanya Tuan Lengit bingung melihat warganya berduyun-duyun di teras rumahnya.
Maka berlarilah Nawa ke rangkulan pria paruh baya itu. Sekalinya terdengar sesenggukan nan pilu dari mulut wanita itu. Tuan Lengit berusaha melepaskan rangkulan Nawa karena meskipun ia ingin lama-lama dengan bininya Jakataru itu; Rastinah, bininya, yang mendelik runcing sudah cukup bikin ciut.
“Dia makhluk bunian, Tuan Lengit!” seru Jakataru naik darah.
“Betul!” sahut Badrun mengompori. Pemuda tampan ini pula yang mengajak seluruh penduduk berduyun-duyun menuju rumah Tuan Lengit untuk menghakimi Nawa. Dengan suara rupawan yang dapat membuat luluh gadis manapun, ia lalu melanjutkan, “Bunuh langsung!”
“Kubur hidup-hidup!” seru yang lain.
“Lempar batu sampai mampus!”
“Cubit!”
Nawa gemetar hebat mendengar amarah penduduk. Meski hari sudah mulai beranjak petang, ia bisa tahu ada kebencian berkobar di mata mereka. Satu-satunya cara meredam emosi penduduk hanyalah saat tetua memberikan petuah yang baik-baik. Maka, didekatinya Tuan Lengit sambil berusaha terlihat sepilu-pilunya. “Bukan... aku bukan makhluk bunian....”
“Bohong!” teriak Jakataru kemudian.
Maka, di hadapan seluruh penduduk dan Tuan Lengit, mengalirkan kisah tentang urusan dapur mengepul keluarga Jakataru. Dia yang curiga gabah lumbung selalu penuh meski dimasak berkali-kali memutuskan untuk mengintip bininya saat memasak di dapur. Setelah pamit berpura-pura hendak pergi ke sawah, Jakataru justru sembunyi di balik pintu sehingga melalui celah kecil bisa melihat kegiatan bininya itu.
Semua terlihat biasa, yaitu Nawa membersihkan periuk untuk menanak. Anehnya, saat mengambil gabah di lumbung dia hanya mengambil sebiji. Lalu, Nawa menelan sebiji beras dan sesaat kemudian dimuntahkannya nasi dari mulut. Dapur saat itu sama sekali tak mengepul, hanya periuk yang Nawa gunakan sebagai wadah tempat muntahan nasi dari perutnya. Kesaktian yang dimiliki Nawa membuatnya dapat menanak sebiji beras di perut menjadi seperiuk nasi yang tanak, harum, dan masih mengepul hangat.
“Kau hanya salah paham, Kakanda.”
“Kalau begitu jelaskan tentang muntahanmu!”
“Itu....” Nawa kehabisan kata-kata untuk menyangkal pengakuan lakinya. Ia hanya bisa melengos menghindari tatapan seluruh penduduk. Berusaha sebisa mungkin agar temaram senja tak memperlihatkan garis senyumnya.
Maka, ketabahan Tuan Lengit habis sudah. Ditinjulah Nawa hingga tubuh kecilnya terpelanting, ambruk ke permukaan tanah berbarengan dengan bunyi bedebam seperti karung gabah terjatuh. Rasa getir di mulutnya membuat Nawa meludah demi mendapati dua gigi geraham kirinya tanggal. Saat itu, untuk kedua kalinya Nawa merasa terasingkan. Pertama kalinya yaitu saat enam saudarinya meninggalkannya sendirian ketika mandi di telaga.
Dengan demikian, dipasunglah Nawa di depan balai desa. Seluruh penduduk dikumpulkan jadi satu pada petang yang baru saja runtuh. Nyala obor yang menerangi wajah penduduk mencetak jelas kebencian mereka pada makhluk bunian. Tuan Lengit dengan obor di satu tangannya mendekati Nawa hendak membakar wanita itu.
“Tuan...” bisik Nawa lirih. “... kalau aku memberi tahu makhluk bunian mana lagi yang berpura-pura menjadi penduduk desa, apakah kau akan mengampuni hidupku?"
Terkejutlah Tuan Lengit dan penduduk saat mendengar pengakuan Nawa. Ditanyalah Nawa oleh Tuan Lengit dengan mulut bergetar penuh gugup, “Maksud kau ada makhluk bunian lain selain dirimu?”
“Tentu saja. Lagipula desa ini berada paling dekat dengan Hutan Bunian.”
“Lalu siapa yang kau maksud?”
Dengan tatapan sungguh-sungguh, Nawa berkata, “Badrun, binimu adalah makhluk bunian. Dia menggunakan tenung untuk membuatmu terpikat padanya.”
Riuhlah mereka. Pasalnya, Badrun adalah versi laki-laki dari kembang desa. Ketampanannya yang luar biasa pernah membuat seorang dewi mendatanginya untuk dimintai kawin. Pemuda setampan ini menikahi wanita gempal tanpa ada kecantikan tersirat sedikitpun membuat gadis-gadis desa mengurung diri di rumah saat pesta perkawinannya berlangsung.
“Sudah kuduga dia memakai tenung!” teriak salah seorang gadis yang pernah patah hati.
“Benar! Mana mungkin Kang Badrun mau sama wanita jelek seperti itu!” sahut yang lain.
“Rambutnya juga bau.”
“Bau sapi!”
Bininya Badrun yang merasa harga dirinya diinjak-injak balik membalas, “Hei, aku ini dapat Kang Badrun semata-mata karena cinta! Memangnya kalian yang pura-pura baik di depan tapi bermulut busuk di belakang. Kang Badrun, beri tahu mereka kenapa kau pilih aku.”
“Kurasa, kau memang benar makhluk bunian,”ujar Badrun datar.
Badrun sudah muak dengan perangai bininya. Bersusah-susah ke sawah saban hari tapi persediaan beras selalu habis pada pertengahan tahun. Dan, benar kata seseorang. Bininya benar-benar bau apek seperti ular sawah.
“Kau pasti jelmaan ular!” sahutnya kemudian.
“A-aku bukan ular!”
“Bohong.”
“Ka-kalau aku makhluk bunian, Shindu pasti juga. Dia mandul tapi bininya cantik. Mustahil!”
“Tunggu sebentar!” ucap Shindu memecahkan keriuhan. “Setelah dipikir-pikir lagi, aku ini mandul tapi bagaimana mungkin biniku mengandung? Kamu pasti selingkuh dengan makhluk bunian, bukan?”
“Apa? Mana mungkin Kang Jakataru makhluk bunian?” seru bininya Shindu tak yakin.
“Kamu selingkuh dengan Jakataru?” teriak Shindu tak percaya.
“Bukan... maksudku... Kang Jakataru, tolong jelaskan!”
“Eh? Kenapa pula jadi aku?” tanya Jakataru khawatir karena tujuh wanita yang ia selingkuhi menatapnya penuh curiga. “Aku ini manusia, kau tahu?”
“Aku tahu!” teriak bininya Shindu di tengah kekacauan. “Kang Jakataru pasti makhluk bunian yang suka menggoda bini-bini manusia! Aku yakin itu!”
“Bukan! Aku manusia, sungguh!”
“Bakar bersama Nawa! Biar laki-bini itu tak mengganggu desa ini!” teriak bininya Shindu lagi.
“Tunggu! Kalau kalian membakarku, kalian juga harus membakar anak-anak hasil perselingkuhanku. Tega, begitu?”
“Kau tak hanya menyelingkuhi biniku?” teriak Shindu terduduk lemas.
“I-iya... dulu, sebelum menikahi Nawa... aku sering main-main dengan Menik, Malika, Tinah, Surtilati, Jumariyah, Sariwati, dan Rastiti.”
“Aku tidak pernah selingkuh!” protes Rastiti.
“Ah, maaf. Maksudku Rastinah. Saking banyaknya sampai lupa.”
“Dasar wanita jalang!!!” Membahanalah teriakan Tuan Lengit, lakinya Rastinah. “Mana yang anak hasil perzinaanmu? Jamal, Tuni, atau Damiyati? Biar kubakar jadi abu!”
“Jangan begitu, Nak Lengit. Kasihanilah Rastinah.”
“Diam kau, Pak Tua! Kau membelanya sudah pasti kau makhluk bunian juga, hah?”
Maka, dengan habisnya kesabaran Tuan Lengit, habis pula kesabaran penduduk. Awalnya hanya adu mulut penuh cacian kata-kata kasar. Namun ketika Tuan Lengit membanting Jamal, yaitu putra termuda yang ia duga hasil perserongan bininya dengan Jakataru, saat itulah kericuhan semakin kalut. Rastinah menyerang Tuan Lengit, dibantu oleh anak-anaknya yang sakit hati. Lakinya para bini yang serong dengan Jakataru menyerangnya tanpa ampun, namun masih ada pula yang membela Jakataru mati-matian. Semua kacau, bahkan Shindu berani membakar istrinya Badrun dengan obor. Maka, malam itu kobaran api hanya membuat segalanya menjadi semakin kacau tidak keruan.
Di sana, hanya ada Nawa yang mati-matian menahan tawa karena berhasil membalaskan dendamnya kepada Jakataru. Bukan lantaran perserongannya, tapi karena hal yang lain.
Beberapa saat setelah kekacauan yang menewaskan sebagian besar penduduk dan membuat sisanya kabur terpontang-panting, tersisalah Nawa dan seorang pria di tengah-tengah reruntuhan sisa lahapan api. Pria itu berjalan mendekat sambil berkata, “Tak kusangka kau benar-benar makhluk bunian.”
“Jadi, kaulah yang akan membunuhku?”
“Tentu saja tidak,” ucap Shindu, pria itu. Dia lalu melepaskan ikatannya Nawa. “Sesama makhluk bunian tak akan saling membunuh.”
Mereka berdua saling berhadapan. Ada kebingungan yang begitu nyata tergurat di wajah Nawa.
“Sebetulnya, aku bukan Shindu. Shindu yang kau kenal sudah kumakan sedari dulu. Aku hanya berubah wujud menjadi Shindu untuk membalaskan dendam kepada keluarga dan desanya karena telah membunuh ibuku,” katanya sambil menyalami Nawa. “Namaku Shank. Shankuriang.”
“Sebentar... bukankah ibumu itu pelanduk yang jelmaan dewi kayangan, Shank?”
“Betul, Nawa. Itulah sebabnya aku berpura-pura mendapatkan kutukan mandul agar penduduk tak curiga. Tak kusangka kau juga mengalami permasalahan yang sama.”
“Tidak, tidak. Aku tidak membalaskan dendam karena perselingkuhan Jakataru.”
“Lalu?”
“Itu... sebaiknya kuperkenalkan diri lebih dulu. Namaku Dewi Nawangwulan. Aku adalah bungsu dari bidadari-bidadari kayangan. Saat itu, ketika aku dan saudariku mandi di telaga Hutan Bunian, Jakataru mencuri selendangku sehingga aku tidak bisa kembali ke kayangan. Dia membohongiku, Shank. Memperalat kesedihanku agar mau menerima persuntingannya. Itulah yang kusimpulkan saat kutemukan selendang yang Jakataru sembunyikan di lumbung.”
“Itu menjijikkan.”
“Manusia memang menjijikkan.”
“Mereka telah salah memilih lawan.”
“Benar. Manusia seharusnya belajar untuk tidak bermain-main dengan makhluk bunian.”
Shank memandangi sisa-sisa kericuhan di mana mayat-mayat bergelimpangan dengan segala bercak darah yang mulai menghitam. “Aku rasa mereka sudah mendapatkan pelajaran.”
***

No comments: