Mangkuk
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
1/
HUJAN seketika turun memaksa kami menepi ke halaman apotek yang sudah tutup. Turunnya tepat di saat jalanan penuh oleh para karyawan yang pulang dari pekerjaannya masing-masing. Aku sendiri sebenarnya bekerja di perusahaan yang tak mematok jam kerja karyawan sehingga kadang semua pekerjaan bisa kulakukan dari rumah. Meski begitu, sudah jadi rutinitas saban sore untuk menjemput Shinta dari kantornya. Praktis, kami berdua sama-sama terjebak oleh macet dan hujan yang turun berantakan.
“Sempit, ya?” katanya sambil merapat. Rapat dalam artian saling berdekatan, bukan rapat yang berarti musyawarah atau semacamnya. Memang, hujan yang turun terlalu lebat membuat halaman apotek sesak oleh segala orang yang berteduh. Berada di bagian dalam kerumunan memang membuat kami terhindar dari tempias, namun gerah mulai mereguk ke kerongkongan. Sebelah tangan yang kugunakan untuk memeluk Shinta agar terlindungi oleh gencetan tubuh-tubuh karyawan kecapaian ini sama sekali tak berguna.
“Ayo kita pindah.”
“Ke mana? Masih hujan.”
Aku lalu menunjuk sebuah warung bertutupkan terpal jingga dengan daguku. Warung itu ada di sebelah apotek dan hanya butuh sedikit berlari untuk mencapainya. Selain itu, jika dilihat sekilas warung itu terlihat sepi.
“Itu kan warung mie ayam. Mas Adi nggak apa-apa?”
“Nggak papa. Daripada di sini sesak.” Aku mengangguk sungguh-sungguh untuk meyakinkan Shinta. Dia tahu jika aku membenci mie ayam. Memang di umurku yang sudah seperempat abad ini, tak pernah sekalipun aku memakan mie ayam. Gumpalan mie gemuk-gemuk, potongan daging ayam kecokelatan yang entah sudah dibuat berapa hari sebelumnya, serta rebusan cai sim layu betul-betul menurunkan selera. Terutama jika disajikan pada mangkuk dengan logo ayam jago itu.
Ah, sial. Hujan selalu membangkitkan memori lama.
2/
DULUNYA, aku sangat ingin memakan mie ayam. Begitu ingin sampai pada tahap tak tertahankan. Sudah berkali-kali memintanya pada bapak, sebanyak itu pula beliau menolak. Padahal, keluarga kami tak miskin-miskin amat. Hanya soal mie ayam saja bapak selalu menolak untuk memberikan. Bila sudah begitu, ibu akan menenangkanku dengan membuatkan semangkuk mie instan yang dihidangkan di mangkuk bergambar jago agar terlihat persis. Lalu malamnya bapak akan membawa mainan baru yang ia beli di alun-alun dekat warung mie ayam kami berada.
Aku tak tahu kenapa bapak begitu melarangku makan mie ayam. Bahkan ketika banyak sisa mie ayam, yaitu ketika hujan turun seharian sehingga hanya sedikit pengunjung yang datang, bapak masih enggan. Saat kutanyakan kepada ibu, beliau hanya mengalihkan perhatianku dengan hal-hal lainnya. Pernah sekali pada ulang tahunku ke-8, aku meminta semangkuk mie ayam sebagai pengganti kue ulang tahun. Tentu saja ditolak begitu saja. Awalnya ibu membujukku perlahan, namun habis pula kesabarannya. Dia muntab. Sungguh, aku sama sekali tak mengira sosok ramah ibu bisa segalak itu terhadapku. Seperti kerasukan.
“Sudah, sudah,” kata bapak sambil mengelus punggung ibu lembut. “Adi juga jangan begitu. Kan, kasihan Ibu juga.”
Aku mengangguk pelan, karena ketakutan. Wajah itu bukanlah wajah ketika orang marah. Aku sering dimarahi oleh Bu Guru karena selalu melemparkan sisa kunyahan permen karet pada rambut Lila, teman kelasku. Aku sangat tahu bagaimana wajah seseorang ketika marah. Dan, aku tak tahu bagaimana menjelaskannya tapi wajah ibu saat itu berwarna hitam legam. Sama sekali tak terlihat seperti manusia!
Sudah begitu, ibu akan berlari ke kamarnya dan menangis tersedu. Diikuti oleh bapak yang menenangkan ibu. Sementara aku, duduk di sofa tanpa benar-benar tahu apa yang harus kulakukan. Hal yang aku tahu, keesokan harinya ibu membuatkanku semangkuk mie instan dengan potongan fillet ayam dan rebusan cai sim. Tentunya, dihidangkan di mangkuk bergambar jago seperti biasa. Lalu untuk ulang tahun, aku mendapatkan sepeda baru dan seekor kucing. Aku tak tahu jenis kucing tersebut tapi kata Lila, teman sekaligus musuhku saat itu, kucing itu adalah kucing mahal. Lila terlihat menyukai kucingku. Ingin kuberikan padanya tapi kuurungkan semata-mata agar Lila sering main ke rumahku. Oleh Lila, kucing itu diberi nama London.
Perkara mie ayam sedikit terlupakan karena sejak saat itu, Lila sering main ke rumahku untuk bermain dengan London. Aku sedikit cemburu tapi lama-kelamaan Lila juga mulai bermain denganku. Aku mengajarinya cara menendang bola dengan gaya keren seperti Messi sementara Lila lebih sering main masak-masakan untuk aku dan London.
“Adi sama London mau dimasakin apa buat makan malam?” kata Lila sambil mengaduk-aduk wajan mainannya. “Spaghetti apa pizza?”
Aku tak begitu tahu soal masak-memasak, tapi aku sangat yakin jika pizza bukanlah makanlah yang dimasak menggunakan wajan. Kalaupun ada sesuatu yang ingin kumakan, sudah pasti itu...
“Masakin mie ayam dong!”
“Oke!”
Lalu, Lila mulai mengumpulkan tali putri, beberapa lembar daun jeruk, dan air dari keran yang biasa bapak pakai untuk mencuci dua mobilnya. Kemudian Lila memeragakan kemampuan masaknya sementara aku hanya memerhatikannya sambil mengelus-elus punggung London di pangkuan. Pertama, Lila memasukkan sedikit air ke wajan dan beberapa jumput pasir kering. Kemudian dia akan mengaduk-aduknya seakan sedang berada di acara TV Aroma. Kedua, tali putri dan potongan daun dimasukkan ke wajan dan diaduk dengan tak keruan. Itu jelas berbeda sekali dengan cara bapak ketika meracik bahan-bahan mie ayam. Meski begitu, kata Lila masakannya sudah jadi dan memintaku untuk mengambil wadah untuk tempat mie ayam yang sudah matang. Aku menolak dan Lila terlihat sebal.
“Ih, Adi nyebelin.” Lila beranjak sambil mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk wadah. Aku membiarkannya mengobrak-abrik tumpukan kayu di pojokan taman. Salahnya sendiri tak punya mangkuk mainan. Dia balik dengan wajah kegirangan sambil berkata, “Pakai ini boleh?”
Di tangan Lila ada mangkuk bergambar jago yang ditutupi oleh kain putih. Aku bercanda jika itu kain pocong dan Lila tak terlihat ketakutan. Dia malah membuka penutup tersebut dan menunjukkan wajah yang kebingungan. Lila menaruh mangkuk di lantai sehingga aku dan London bisa melihatnya. Di situ, ada sepotong ceker ayam. Aku mengerjap-kerjap untuk memastikan dan memang benar jika itu ceker ayam! Hanya saja, ada kain kecil warna merah yang diikatkan ke ceker tersebut. Lila membuka ikatan tersebut demi mendapati coretan-coretan dengan spidol hitam di kain tersebut.
“Itu apa, Lil?” kataku mulai merasa tak enak.
“Nggak tahu. Tulisannya arab tapi nggak ada harakat-nya,” jawab Lila dengan entengnya. Dia lalu mengambil ceker tersebut dan diberikan kepada London. London mulai menggerigitinya.
Aku mengambil ceker dari mulut London dan melemparkannya sekuat tenaga ke atap rumah tetangga. Begitu saja kulakukan karena untuk alasan yang tak bisa kujelaskan, aku merasa ada yang tak beres dengan semua ini. Lila mencak-mencak karena aku membuang-buang makanan. Tapi dia mulai tenang saat kuberikan kaleng Whiskas tuna padanya. Aku bilang padanya itu untuk London. Lalu Lila mencampurkan tuna tersebut dengan mie ayam hasil masakannya. Dia taruh di mangkuk yang kurasakan mulai mengeluarkan aura aneh.
London dengan cerdiknya hanya memakan bagian tuna dari mie ayam yang Lila buat. Lila sendiri hanya duduk berselonjor memperhatikan London dengan saksama. Aku? Diam berdiri penuh ketakutan.
“Kamu ngapain, Lil?” protesku saat Lila mengambil sejumput tuna dari mangkuk itu.
“Mau nyicipin masakanku. Adi mau juga?”
“Nggak. Itu kan makanan hewan!”
“Makanan kucing kan sudah dimasak semua.” Aku mengernyit keras saat Lila memakan tuna itu. Gigi ompongnya terlihat saat ia menertawakan kernyitanku. Senyum ompong yang akan kuingat sepanjang waktu.
3/
AKU menghela napas panjang. Bagaimana harus mengatakannya, ya? Semalam sehabis Lila makan dari mangkuk itu, ia meninggal di Rumah Sakit karena demam. Semua terjadi begitu saja hingga terasa seperti mimpi. Aku kalut, jatuh ke dalam depresi dan membuat segalanya begitu gelap. Mencekam. Beruntung ada ibu yang selalu menyemangatiku. Ketika kutanya soal London, ibu bilang ia menghilang. Namun seiring bertambahnya usia, aku yakin London juga meninggal di hari yang sama. Ibu berbohong padaku karena dia pikir kematian Lila sudah cukup membuatku depresi.
Andai Lila masih hidup, aku yakin dia akan duduk di seberang meja ini. Melahap mie ayam dengan rakusnya sambil sesekali mengkritisi seumpama chef terkenal. Meski begitu, aku merasa beruntung memiliki Shinta. Dia wanita yang pengertian. Bersama Shinta, aku sedikit bisa melewati depresi yang kudapatkan pada masa-masa setelah kematian Lila.
“Mas Adi kok baksonya nggak dimakan?” kata Shinta di sela-sela gemuruh hujan. “Entar dimakan setan, lho!”
“Setannya kamu, dong!”
Shinta tertawa kecil. Sementara aku tersenyum, entah karena melihat senyum Shinta atau pada hujan yang membangkitkan kenangan manisku bersama Lila. Demi apapun itu, kuambil sendok untuk melahap bakso di mangkuk bergambar jago itu. Ini enak! Sungguh enak! Aku mengunyah bakso dengan perasaan sedikit emosional. Lila seharusnya masih hidup untuk mencicipi semua makanan yang enak-enak. Aku terus mengunyahnya dengan perasaan yang tak keruan. Pada suatu kunyahan, aku terhenti oleh sesuatu yang terasa aneh di mulut. Kumasukkan telunjuk ke dalam untuk menarik benda itu. Begitu keluar, baik aku dan Shinta sama-sama terkejut. Shinta mungkin terkejut karena kain merah begitu jarang ditemukan di makanan. Tak seperti rambut atau kerikil, misalnya. Tapi aku terkejut oleh hal yang lain.
Ada satu hal yang tak kuceritakan pada psikiater saat masa-masa pemulihan dulu, yaitu tentang sosok tinggi kurus dengan badan dililit kain merah bertuliskan aksara arab gundul. Pertama kali kulihat di atap rumah tetangga tempat ceker kulemparkan. Lalu, mereka seperti muncul di segala tempat. Di dapur saat bapak sedang membuat kaldu mie ayam, warung soto ujung gang, bahkan restoran nasi bakar pinggir laut sekalipun. Dan, kali ini kulihat sosok yang sama berdiri di belakang bapak penjual mie ayam tempat kami berada.
Aku tidak mau mempercayai hal-hal yang klenik atau semacamnya, tapi sangat sulit bagiku untuk tak menganggap mereka sebagai manifestasi ilmu pesugihan.

No comments: