Patung Batu
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
Hei, aku dengar hujan selalu rapat mengisi hari-hari di bulan Desember. Aku sering dengar. Tentang gemericik hujan yang menampar tumpukan batu candi tempatku tinggal. Juga para manusianya yang datang dengan rambut basah terkena tempias.
Ah, hujan. Kau selalu datang menghantarkan memori yang merasuk.
Kau selalu membuat segalanya jadi berlebih-lebihan. Membuat gurat kesedihan di hatiku terasa seperti sayatan kepedihan. Padahal, tak seharusnya aku berlarut-larut pada hal yang demikian. Mungkin memang sudah jadi salahku atas segala desas-desus yang berterbangan. Tapi, sudahlah. Mungkin memang benar aku mendapat kutukan.
***
Hujan yang menggelisir di langit Jogjakarta jadi saksi akan kisah tentang pasangan kekasih. Saat itu, langit di atas sana tak semendung dan sesendu kali ini. Waktu itu, langit berwarna cerah dengan sapuan kuning bak tembaga.
Aji adalah pemuda yang berumur di akhir 30-an. Sekali pandang dari gaya berpakaiannya yang parlente, kalian bisa menebak dia dari golongan berada. Atau jika kalian tidak acuhnya sampai tak paham, lihatlah pada wajahnya yang simetris, rahangnya yang tegas, rambutnya yang ditata rapi dengan gel mengkilat, juga biru pada bola matanya. Belum soal pakaiannya: blazzer custom made warna biru tua yang menutupi kemeja putih gading, denim warna beige, sepatu slipper dengan konstruksi moccasin warna walnut, dan jam tangan yang sekilas terlihat seperti berwarna hitam namun sebenarnya adalah cokelat yang sangat gelap. Dia sedang duduk di tangga batu menunggu kekasihnya.
“Mas Aji, maaf aku terlambat,” ucap seorang gadis yang datang dengan gesa.
“Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai,” sahut Aji sembari memberikan satu cup green tea frappuccino ukuran grande.
Gadis itu duduk di tangga batu sehingga mereka berdua kini beriringan. Diminumnya kopi pemberian Aji. Whipped cream pada kopi tersebut yang tak lagi menggelembung membuat gadis tahu jika Aji sudah lama menunggu.
“Seharusnya aku menjemputmu tadi,” ucap Aji kemudian.
“Jangan. Tidak usah. Lagian dekat,” sahut gadis.
Gadis itu adalah kekasih Aji. Pemilik nama Astuti ini ini adalah seorang waitress di rumah makan dekat kompleks candi. Jangan membayangkan Astuti memakai celemek dengan kantong kecil di depan berisi notes untuk mencatat pesanan pelanggan. Dia hanya waitress warung makan ayam geprek yang menu paketannya terlampau murah. Warung makan yang bahkan tak punya seragam untuk karyawan. Itulah sebab Astuti datang dengan hanya memakai jeans belel dan kaus band berlapis jaket. Aroma pedas sambal geprek masih tersisa di badannya.
“Bagaimana?” tanya Aji memecah keheningan. “Kamu sudah bisa ambil cuti Desember nanti?”
“Maaf, Mas Aji. Aku belum sempat bilang ke Pak Yudhis.”
Yudhis adalah pemilik warung makan tempat Astuti bekerja.
“Oh... semoga Pak Yudhis mengizinkan. Aku ingin mengajakmu ke Musashino di Jepang, sayang. Ada sebuah danau kecil di Taman Inokashira yang ingin aku tunjukkan kepadamu. Aku rasa kamu akan suka pemandangan danau di musim dingin. Nanti kita menaiki perahu angsa di sana, OK?”
Aji menolehkan pandangannya pada Astuti. Dia sama sekali tak berusaha menutupi ekspresi wajah bosan saat Aji bercerita. Pandangannya hanya lurus ke hamparan rumput di kompleks candi sambil sesekali meneguk kopinya yang tak lagi sedingin es.
“Mas Aji, kamu tahu tempat ini?” ucap Astuti tiba-tiba.
“Oh, ya. Aku juga heran kenapa kita bertemu di candi seperti ini. Apakah ini tempat yang spesial untukmu?”
“Katanya, kalau ada pasangan kekasih yang berada di sini nanti bisa putus.”
“Eh? Kalau begitu kita seharusnya jangan lama-lama di sini.”
“Mas Aji percaya?”
“Maksudnya?”
“Maksudku, Mas Aji percaya kalau kutukan di candi ini bisa membuat kita putus?”
“Kalau itu....”
“Kalau aku percaya.”
Astuti mengucapkannya dengan nada datar tanpa ada ekpresi di wajahnya. Aji yang sedari tadi mengamati Astuti jadi terdiam. Dia kikuk. Lalu untuk mengurangi canggung, ia meminum toffe nut frappuccino miliknya demi menyadari jika minumannya sudah habis saat sedang menunggu kedatangan Astuti.
“Mas Aji... aku mau putus,” kata Astuti kemudian.
“Tunggu sebentar! Tidak, maksudku tunggu yang lama!” sahut Aji penuh kepanikan. “Bisakah kita membicarakannya baik-baik?”
“Maaf, Mas Aji. Mau bagaimanapun, kita berdua sudah tidak seperti sepasang kekasih. Kehidupan kita terlalu beda untuk saling berkompromi. Frappuccino yang selalu kau bawa terlalu manis. Aku tidak suka itu. Aku lebih suka pahit pada kopi hitam di warung pinggir jalan.”
“Maaf jika aku tidak tahu kalau kamu tidak suka frappuccino yang kubawa. Hanya saja....”
Astuti beranjak dari tempatnya duduk, membuat Aji menghentikan ucapannya.
“Kita memang sulit menyatu, Mas Aji. Ingat terakhir kita pacaran? Itu adalah dua bulan yang lalu!”
“Maka dari itu aku merencanakan liburan kita ke Jepang, sayang. Bukankah kualitas bisa mengalahkan kuantitas? Itu kan, yang kita sepakati di awal pacaran?”
Astuti menggeleng lemah. “Soal itu, sebenarnya aku sama sekali tidak pernah mengajukan cuti kepada Pak Yudhis. Jepang... terlalu jauh untukku. Aku hanya ingin pria yang selalu di dekatku.”
Setelah Astuti selesai bicara, dia lalu memalingkan badan dan mulai berjalan menjauh.
“Apakah ini salahku?” tanya Aji sambil berteriak menarik perhatian.
Astuti berbalik, lalu mengucapkan sesuatu perlahan, “Ini bukan salahmu ataupun salahku. Kita memang sulit untuk menyatu. Kalaupun ingin menyalahkan seseorang, salahkan patung batu yang membuat kutukan patah hati di candi ini.”
***
Hujan masih turun membuatku tak lekas berhenti memungut kenangan yang jatuh. Aku ingat, saat itu Aji memperlihatkan wajahnya yang mendung di hadapanku. Dia memakiku dan menyalahkanku sebagai dalang penyebab runtuhnya hubungan dengan Astuti. Terus merajuk, hingga pada suatu waktu ia datang sambil tersenyum.
“Aku tahu. Saat Astuti meminta bertemu di candi ini, ia memang berniat putus. Kutukan patah hati di candi ini hanya ia pakai sebagai akal-akalan untuk lebih mudah mengakhiri hubungan kami,” ujar Aji yang menunjukkan wajah lesu. “Maaf sudah menyalahkanmu.”
Pada saat itu, untuk pertama kalinya aku melihat senyum yang lebih indah dari pelangi manapun. Saat itu, ia menggoreskan sesuatu pada hatiku yang terbuat dari batu. Dan dengan begitu saja ia pergi meninggalkanku. Mungkin ke Taman Inokashira untuk bertemu dengan Benzaiten di sana.
Aku tidak seharusnya melakukan ini, tapi pada akhirnya aku memanggil Astuti dan kekasihnya yang baru. Tidak benar-benar memanggil dengan mulut, tentu saja. Lagipula aku hanyalah patung batu. Aku hanya membuatnya merasa ingin mendatangiku, lalu kubiarkan kutukan patah hati di candi ini yang mengurus sisanya.
Maka dari itu, Aji. Jika suatu saat nanti kau menemukan wanita yang kau pilih sebagai pendamping hati, janganlah datang menemuiku.
Aku tidak mau lagi melihat wajah patah hatimu.
***

No comments: