Sate Jamu
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
Sate? Jamu? Sate dengan racikan bumbu-bumbu khas jamu? Atau sate dengan khasiat jamu? Berbagai spekulasi muncul di benakmu saat melihat kertas berisikan daftar menu yang teronggok di atas meja dapur rumah temanmu. Kamu membacanya sekali lagi demi meyakini jika daftar menu di hadapanmu bukan salah ketik yang mana seharusnya adalah “Sate Jamur”.
“Sate jamu apaan?” cetusmu terkalahkan rasa ingin tahu.
“Hah?” Temanmu yang sedari tadi sibuk mencari palu dan paku mau tak mau berhenti melakukan aktivitasnya demi menjawab pertanyaanmu. “Kamu tanya apa?”
“Ini...” jawabmu sambil memperlihatkan daftar menu. “... sate jamu itu apaan, Gian?”
“Oh... itu. Kamu baru sekali ini ke Solo, sih. Makanya enggak tahu.” jawab Gian ada rasa sungkan. “Pokoknya sate, deh. Bapak sama Ibu buka warung yang kebetulan menunya sate jamu.”
“Berarti bukan jamu rasa sate?”
“Bukanlah!” sergah Gian sambil tertawa kecil, cukup untuk memperlihatkan gigi taringnya yang gingsul. “Ada-ada saja kamu, Kris!”
Kamu terkekeh menertawakan kebodohanmu. Tak mau dianggap bodoh lagi oleh perempuan di hadapanmu, kamu menepis hasrat untuk bertanya soal nama menu lain yang tak kalah unik: sengsu. Maka, untuk menutup rasa ingin tahumu, kamu anggap sengsu sebagai singkatan ginseng-susu.
Sembari Gian mencari paku dan palu untuk keperluan pameran fotografi yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sore ini, kamu mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Rumah dengan ruangan-ruangan kecil yang penuh perabotan ini sangat berbeda dengan keadaan rumahmu di kampung. Tiba-tiba teringat rumah, padahal belum genap satu semester kamu pindah karena menjadi mahasiswa baru.
“Gian....”
“Apa lagi, Kris?”
“Itu... anjingmu?”
Kamu menunjuk empat ekor anjing lokal di belakang rumah. Dua berwarna cokelat muda, satu berwarna cokelat yang lebih pucat, dan satunya lagi berwarna putih gading. Ada tali yang mengekang leher anjing-anjing tersebut.
“Iya. Biar enggak kabur,” jawab Gian saat ditanya.
“Oh, iya juga sih. Dulu aku juga punya anjing kecil, mirip yang putih itu. Namanya Heli.”
“Kayak di lagu Aku Punya Anjing Kecil?”
“Iya! Bener! Dia tuh... sukanya kabur kalau pintu rumah enggak dikunci.”
“Oh... kangen dong sama Heli?”
“Heli udah enggak ada, Gian. Namanya juga hewan, enggak setua umur manusia.”
Gian diam, lebih banyak diam dari biasanya.
“Namanya siapa, Gian?”
“Hah?”
“Iya... anjing yang putih itu namanya siapa?”
“Ehm... belum ada namanya, Kris.”
“Belum ada?”
“Iya. Kayaknya bapak baru beli tadi pagi.”
“Oh. Boleh dong aku kasih nama Heli?”
Gian diam lagi. Nyata sekali jika dia tak terlalu suka membahas soal anjing peliharannya denganmu. Meski begitu, pada akhirnya dia menjawab juga. “Boleh, Kris.”
“Asyik!”
Kamu girang dengan berlebihan. Jatuh dalam nostalgia pada kenangan manis bersama anak anjing yang menemani masa kecilmu. Anak anjing yang imut, seimut anjing putih gading milik Gian yang sejak hari ini resmi bernama Heli.
***
“Ge, Gian udah ada pacar belum sih?”
“Nggak tahu, Kris. Mau aku tanyain?”
Kamu mengangguk pelan.
“Giaaan!” teriak Gesa memanggil Gian yang sedang memilah foto untuk dipajang di pameran nanti. “Kris nih, mau tanya.”
Kamu terbelalak seraya menyikut pinggang sahabatmu yang tengil itu. Kamu belum siap saat Gian mendatangimu, membuatmu sedikit gugup sehingga memalingkan wajah ke samping. Pokoknya jangan sampai Gian tahu kamu lagi gugup.
“Apaan, Kris?”
“Kris tanya, kamu udah punya pacar apa belum?” seloroh Gesa sambil ketawa kecil.
“Kok yang tanya kamu, Ge?”
“Iya tuh... Kris-nya pemalu!”
Gian dan Gesa memandangimu lekat-lekat, membuatmu skala grogimu melonjak. Kamu sangat yakin jika mereka berdua sengaja melakukannya untuk menggodamu.
“Belum,” jawab Gian kemudian, mematahkan grogi yang melesat jauh.
“Belum, katanya,” ulang Gesa kemudian.
“Iya, aku tahu!” jawabmu tanpa bisa menutupi rasa girang, terlihat dari nada marah yang kau keluarkan bercampur sedikit tawa.
Kalian bertiga tertawa. Tawa yang cukup besar untuk membuat senior marah dan mau tak mau membuat kalian kembali pada kegiatan masing-masing: Gian dengan memilah foto sementara kamu dan Gesa menyiapkan bilik tempat foto akan dipajang.
“Itu yang kamu demenin, Kris?” tanya Gesa kemudian.
Kamu hanya mengangguk kecil.
“Suka Gian di mananya?”
“Semuanya.”
“Naif banget kamu, Kris.”
“Serius! Gini, manusia itu... kalau punya hewan peliharaan maka tingkatan kebaikannya lebih tinggi dari orang kebanyakan. Malah, ada nih penelitian yang bilang kalau tindakan menyiksa hewan tuh cikal bakal dari tindakan kriminal lainnya. Kalau dibalik, penyayang hewan bisa dikatakan antonim dari para kriminal!”
“Emang Gian penyayang binatang?”
“Iya. Dia pelihara anjing di rumahnya. Imut-imut, Ge. Kamu mesti lihat.”
“Oh...” balas Gesa tidak terlalu memusingkan perkataanmu. “Ya udah, ajakin keluar gitu.”
“Keluar? Ke mana? Aku masih baru di Solo, belum kenal banyak tempat.”
“Ya... terserah kamu aja, yang penting berkesan.”
Kamu diam, memikirkan tempat-tempat yang cukup menarik untuk keluar.
“Oh ya, orangtua Gian buka warung sate. Aku enggak tahu lokasinya di mana tapi... menurutmu gimana?”
“Wuih... ngajakin anak orang main ke orangtuanya? Berani bener kamu, Kris!”
“Enggak gitu. Cuma, aku ada penasaran sama menu di warungnya Gian. Ada makanan nih, Ge, yang namanya sate jamu. Kan lucu, ya? Sate apa jamu?”
Gesa membelalak, cukup untuk membuatmu berhenti berbicara.
“Ada apa, Ge?”
Gesa memandang matamu lekat-lekat, seakan ada rasa bersalah yang terpendam di sana. Kemudian, dia mendekat sambil berbisik lirih tepat di telinga, “Sate jamu itu... sate dari daging anjing.”
Rasanya, baru saja ada petir yang menyambar kepalamu.
“Sa-sa-sate dari anjing?” gagapmu tak percaya.
“Iya, Kris. Di sini mah, banyak yang jualan sate jamu. Udah biasa. Sengsu juga.”
“Sengsu? Ginseng-susu?”
“Bukan! Sengsu mah sama, tapi ditumis gitu. Singkatan dari oseng-oseng asu.”
“Sebentar, jadi maksudmu anjing di rumah Gian bukan peliharaan tapi bahan masakan?”
Gesa mengangguk kecil sementara kamu terduduk lemas. Dia berusaha menenangkanmu dengan menepuk-nepuk punggungmu, namun tak berhasil juga. Terlanjur tahu membuatmu hatimu goyah. Kamu tak yakin bisa melihat Gian sebagai sosok perempuan yang kamu elu-elukan. Tidak setelah tahu soal warung sate jamu miliknya. Bagaimanapun, Heli dan anjing-anjing itu adalah bagian dari Gian yang kamu sukai.
Kamu mengerang, membayangkan pelanggan mana yang malam ini akan menyantap Heli dan teman-temannya.
***

No comments: