Bangkai Terasi
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
Timun Mas lari tunggang langgang dikejar Buto Ijo yang sudah seperti harimau kelaparan, menerjang setiap apa yang di depan. Peluh membasahi kemben Timun Mas. Tetesnya menggerayangi setiap apa yang menempel padanya. Matahari terik sekali seperti tak kasihan saja dengan anak yang hendak dimakan ini.
“Bagaimana ini, Bung! Buto sialan itu sudah makin dekat saja.” Seru Paku dari dalam kantung gombal yang terselip di sela-sela tapih yang membelit Timun.
“Kita harus membantu Timun! Bagaimanapun ia seorang wanita. Tak mungkin bisa lari lebih cepat dari Buto yang kakinya sepanjang tiang surau itu!” saut Benih memprovokasi.
“Tenanglah terlebih dulu, kawan.” Garam menengahi. “Prioritas kita sekarang bagaimana agar Buto menjauh dari Timun. Syukur-syukur bisa melenyapkan Buto.”
“Apa maksudmu, Bung?! Tentu saja kita harus membunuh Buto jahannam itu! Mau sampai kapan menghindar, Bung! Sudah saatnya kita berkonfontrasi.”
“Benar sekali kata Paku. Kita harus membunuhnya. Ya, membunuh agar Timun dapat hidup bahagia dengan Simbok. Bagaimana menurutmu, Terasi?”
“Seperti apa yang barusan kau katakan. Kalau memang tak ada pilihan lain terpaksa kita harus membunuh Buto agar Timun bahagia selamanya dengan janda itu.”
“Kasar sekali kamu, Terasi. Jangan panggil perempuan dengan kata janda. Mulutmu memang selalu busuk bau bangkai.” Benih mendengus.
“Dia memang Janda.”
“Setidaknya panggil beliau Simbok!”
“Tak mengubah kenyataan jika dia seorang janda tua.”
Benih muntab lantaran Terasi menginjak martabat wanita. Sementara itu, Buto semakin dekat, tak lebih dari tiga petak sawah di belakang Timun. Perih terasa dari kaki Timun yang bergesekan dengan akar-akar pohon jati yang keras seperit cadas.
“Sudah sudah, Bung” kali ini Paku yang menengahi. “Sementara mulut kalian saling mengumpat satu sama lain, Buto sialan itu makin dekat dengan Timun.”
Benih dan Terasi mengendur. “Lalu kita harus melakukan apa?” ujar Benih penuh kekhawatiran. Khawatir akan apa yang terjadi pada Timun jika mereka tak bertindak. Khawatir jika mereka tak dapat menyelamatkan Timun kendati telah mengambil tindakan.
“Tentu saja membunuh Buto sialan itu!”
“Bukan itu maksudnya, kawan.” Ujar Garam bijak, “Maksud Benih adalah apa yang sebaiknya kita lakukan untuk membunuh Buto. Dengan apa, bagaimana caranya, dan saat kapan yang paling tepat untuk berkonfrontasi seperti yang kamu katakan tadi.”
Hening untuk sejenak.
“Hei, tidak ingatkah kalian dengan ujar-ujaran Pertapa Bijak sebelum menyerahkan kita pada Simbok?” Benih memecah kesunyian.
“Maksud kau Bung, tentang melemparkan kita jika Buto sialan itu semakin dekat?”
“Benar, dengan ini kita bisa menyelematkan timun!”
“Lalu siapa yang pertama kali kita lempar?” saut Terasi ketus. Kerumunan terdiam, lebih diam dari malam tanpa rembulan.
Berkebalikan dengan di luar sana, Buto Ijo semakin berahi mengejar Timun Mas. Entah dikarenakan terik yang membakar atau lapar yang sangat sejak penantian enam belas tahun lamanya.
“Untuk saat ini sebaiknya kita selesaikan dengan musyawarah, kawan.”
“Lalu siapa yang akan kita lempar?” Masih pertanyaan yang sama.
“Aku anjurkan kita lempar Benih karena ia paling berhasrat menyelamatkan Timun.”
“Eh? Apa maksudmu, Terasi?”
“Sudah jelas, bukan? Di antara kita berempat kaulah yang paling berambisius menyelamatkan Timun.”
“Tapi bukankah di saat seperti ini seharusnya kita memilih yang terkuat agar tidak terjadi pengorbanan sia-sia?” suara Benih sedikit bergetar. “Benar kan, Garam?”
Garam sedikit kelabakan ditodong Benih dengan tiba-tiba namun dengan cepat menutupi keanehannya. Garam mengambil nafas untuk menenangkan nada bicaranya, ia sebisa mungkin bertindak sebagai yang terbijak, seperti selayaknya seorang yang telah melewati bermacam-macam pengalaman kehidupan. “Memang benar kata Benih, kawan. Sebisa mungkin kita mengurangi jumlah korban. Dengan kata lain, sudah seharusnya yang terkuat yang maju duluan.” Kini ia melirik Terasi. “Bagaimana, kawan?”
“Maksudmu aku harus berkorban untuk kalian, hah?”
“Kenapa tidak, Bung? Sudah saatnya terlahir pahalawan baru yang akan tercatat dalam hikayat para dongeng!”
“Masa bodoh dengan idealismu! Kenapa harus aku, hah?”
“Karena tidak ada yang lain yang bisa menggantikan. Jangan egois, Bung. Ini demi kebahagian Timun.”
“Tahu apa kau tentang egois?! Bagaimana jika kau dalam posisiku?”
Paku tertawa kecil, “Mana mungkin, Bung. Aku hanya paku kecil. Paling-paling hanya memberi lecet-lecet kecil pada Buto sialan itu. Tak bisa membunuhnya”
“Alasan saja, kau!”
“Ayolah, Bung! Buto sialan semakin dekat. Sebentar lagi tangan Timun akan merogoh kantung. Kita harus segera mendapatkan konsensus, Bung!”
“Benar sekali, waktu semakin mendesak. Dua suara untuk melemparkan Terasi.” Benih ujug-ujug ambil suara. Terasi semakin naik pitam.
“Satu suara untuk Benih!” Terasi menyalak.
Mereka bertiga memandang Garam untuk dimintai suara. Namun Garam hanya menunduk, enggan bersuara. Ia putih seperti seharusnya garam. Terasi semakin menjadi, ia mengamuk tak keruan sementara Benih dan Paku mati-matian mendorong terasi ke sisi mulut kantung. Jemari lentik Timun sudah masuk ke kantung, meraih apa yang ada di dalamnya. Ujung jari Timun menyentuh Terasi. Dibuatnya gemetaran ketika tangan Timun siap meraih. Terasi menjerit kencang sekuatnya, kemudian dengan sekuat tenaga ia menarik tubuh Benih yang mungil kemudian dilemparkannya ke genggaman Timun.
Kini giliran Benih yang menjerit, tak kalah keras dengan jeritan Terasi. Benih sudah ada di genggaman Timun. Dengan sigap Timun melemparkan Benih ke arah Buto Ijo. Ajaib, tumbuhlah pohon mentimun yang menjalar dengan buah yang besar-besar. Buto ijo yang lama tak makan apapun melahap mentinum yang ranum seperti gadis belia.
“Tolong aku...” pinta Benih dari luar kantung. “Tolong...” suaranya semakin lirih seiring kaki-kaki Timun yang berlari menjauh.
***
Buto Ijo yang memakan timun bukannya tertidur kekenyangan justru semakin bertenaga mengejar Timun. Tak berselang lama kini Buto telah sampai di belakang timun, lagi.
“Ini semua kesalahmu, Bung!”
“Apa maksudmu? Bukankah dia sendiri yang ingin menyelamatkan Timun?”
“Tapi tega sekali kau melemparkannya begitu saja!”
“Biar saja. Lagi pula semua dari kita akan bernasib sama.” Terasi diam sejenak. “Ah, memang Timun pantas mendapat pertolongan kita? Tidakkah kalian ingat bahwa sebenarnya janda tua itulah yang melanggar janjinya pada Buto enam belas tahun lalu?”
“Tentu saja kami tahu, Bung! Tapi, apa kau tega melihat Timun dimakan oleh Buto sialan itu?”
“Tahu apa kau, hah? Hidup itu tentang memangsa atau dimangsa! Kau Paku, hanya orang kesetanan yang memakanmu. Tapi lihat kami, aku Terasi dan dia Garam. Kau pikir, berapa dari kami yang dimakan manusia saban hari?”
Paku terkesiap, ingin membantah namun mulutnya gagu.
“Dan kau, Garam. Akan sampai kapan kau terus-terusan diam, hah? Kau pikir diam akan menyelesaikan masalah?”
“Ya, kau benar. Diam tak akan menyelesaikan masalah. Tapi semakin banyak bicara semakin banyak pula yang perlu dipertanggungjawabkan.” Garam mengakhiri pernyataanya berbarengan dengan tangan Timun yang menariknya dari persembunyian. Garam terlihat damai di ujung kematiannya, membuat Terasi dan Paku menahan isaknya. Timun lantas melemparkan Garam ke tanah. Ajaib, tiba-tiba lautan terbentang sepanjang jarak Buto dan Timun. Buto berenang tak keruan, semetara Timun Mas kembali berlarian.
***
Kini, Terasi dan Paku duduk bersampingan. Tubuh mereka berguncang seiring lari Timun Mas yang ngos-ngosan.
“Kau tahu, Paku? Aku selalu membencimu sejak kali pertama bertemu.”
“Ya, aku tahu.”
“Dan tahukah kau mengapa aku begitu, hah?”
“Entah. Kau mau mengakui sesuatu sebelum kita mati?”
Terasi tertawa kecil. “Kau Paku. Kenapa kau bergabung dengan kami para bumbu dapur?”
Kali ini Pakulah yang tertawa kecil. “Ya, aku Paku. Tapi aku hanya paku bengkok dan tumpul. Aku dibuang karena sudah tak mampu.
Berada tiga puluh tujuh tahun di tanah lalu dihujani air bertubi-tubi dan disengat panas terik, sendiri. Sendiri selama tujuh puluh tahun.”
“Kau punya masa lalu yang menyedihkan. Tapi itu tak membuatku luluh atau apapun.”
“Kau memang terasi busuk.” Keduanya tertawa kecil sementara mulut kantung terbuka. Tangan Timun merogoh-rogoh bagian dalam kantung.
“Biar aku saja.” Ujar Terasi.
Paku menarik Terasi. “Tidak, jangan. Aku tak ingin sendiri lagi di kantung ini. Biarkan aku maju terlebih dulu.”
Terasi mengiyakan, merelakan Paku yang kini telah berada di genggaman Timun. Lalu serta-merta melemparkannya pada Buto. Ajaib, tumbuh hutan berduri. Buto Ijo dibuatnya terluka di sekujur kulit.
“Kau tumbuh menjadi hebat, sobat.” ujar Terasi, sendu.
***
Terasi merunduk sendirian di kantung, berteman dinding gombal yang lapuk. Di luar, Timun Mas masih tunggang langgang berlarian lantaran hutan paku masih belum cukup membuat Buto Ijo mundur. Maka, ketika jarak antara Buto dan Timun hanya sepetak sawah, Timun merogoh ke kantung gombalnya. Berusaha mengambil satu-satunya barang peninggalan Simbok yang tersisa. Timun berdoa sekuat tenaga kepada para dewa dan para dewi. Berdoa agar barang terakhir berkhasiat membunuh Buto Ijo sampai mati. Lalu ia mengingat-ingat kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya selama enam belas tahun terakhir. Dan kini ia yakin, ia telah menjadi anak yang baik. Dan anak baik akan dilindungi restu bumi. Dengan penuh keyakinan Timun Mas mengambil Terasi dari kantung gombalnya.
“Tuhan!” suara Terasi tercekat oleh genggaman tangan Timun Mas.
***

No comments: