Kata Abah Besok Puasa
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
“Besok mulai puasa, nak.” Kata Abah ketika senja menuju perantauannya.
“Memang puasa apaan bah?” Aku bertanya, sepertinya kosakata itu baru saja kudengar kendati umurku sudah melewati enam kali musim kemarau.
“Puasa itu, ya… “ Abah terlihat berpikir untuk memilah rangkaian kata agar terlihat pantas diucapkan di depan anak kelas satu SD. “… menahan godaan dari Subuh sampai Magrib”
“Lah menahan godaan seperti apa, bah?”
“Jadi ya intinya nggak boleh makan dan minum dari subuh sampai selepas magrib.”
“Wah, lapar dong bah.”
“Kalau Farid latihan dari sekarang nanti juga biasa.”
Aku berpikir keras. Nggak boleh makan dan minum sampai Magrib? Nanti jadi lemas dong. Kan besok sudah mulai masuk sekolah, lalu siangnya ikut les bahasa Inggris, belum lagi sorenya ada guru privat buat mengajarkan baca-tulis Al Quran yang hurufnya kriting-kriting itu.
“Farid nggak mau ah, nanti takutnya jadi lemas.”
“Farid puasanya setengah dulu saja. Jadi ikutan sahur terus puasa sampai siang pas bedug Dzuhur. Nah abis iu dilanjutin lagi sampai adzan magrib.”
“Boleh ya bah?”
“Namanya juga latihan.” Ucap Abah dimaklum-maklumkan.
“Boleh deh, Farid ikut puasa.”
Senja mengiringi khatamnya mentari di langit barat. Langit senja jadi hitam pekat karenanya. Lantas kami berdua menyudahi percakapan, berganti dengan siraman air wudhu untuk salat magrib berjamaah. Kakak masih belum pulang dari perantauan sedang Emak sudah wafat tiga tahun lamanya. Praktis, setiap salat hanya Abah berdua denganku yang jadi makmumnya. Selepas salat aku keluar menuju pelataran, ditarik oleh bunyi ledakan yang saling bersahutan tak kalah bising dengan puji-pujian dari speaker masjid di ujung gang.
“Shuuuusssh…. Dorr!” sepotong kembang api meluncur apik membuyarkan kesenyapan di permulaan malam. Percikannya bertaburan seperti serbuk para bintang yang dihamburkan.
Oh, jadi ini puasa. Saat malam jadi terang lantaran tusukan kembang api dari bermacam-macam tempat, pikirku seketika. Aku masih dengan khayalku saat melihat Ikhsan dan beberapa teman sepantaran berlarian di pelataran rumah. Aku mengiba pada Abah, lantas menyalami tangan besar Abah karena sudah diberi izin bermain malam-malam. Oh, jadi ini puasa. Saat malam menjadi saat yang dimahfumi untuk beraktivitas. Jadi ini puasa, ketika Abah yang sering marah karena aku yang minta dolan malam-malam seketika jadi ramah, tak lagi marah-marah. Ah senangnya, aku ingin puasa selamanya.
***
“Kata Abah besok puasa.” Aku memulai percakapan dengan Ikhsan di lampangan luas dekat rumah. Sudah kubilang bukan kalau aku bermain malam-malam dengan Ikhsan? Nah rupanya Iksan dan kawan-kawan akan menabuh petasan.
“Iya rid. Tadi Bapak sama Emak sudah bilang. Tidak boleh makan, minum, juga harus menahan marah.” Kata Ikhsan seperti ujar-ujaran para orang tua.
Oh, pantas saja Bapak tak marah saat aku minta main malam-malam. Ah Ikhsan, biarpun umur kita sepantaran selalu saja pemikirannya lebih dewasa dariku dan teman-teman sekalian. Aku jadi iri karenanya.
“Terus juga tak boleh iri dengki, berbohong, berbuat nakal, dan perbuatan jelek lain.”
“Oh gitu, chan. Kata Abah cuma tak boleh makan dan minum saat puasa.”
“Nah itu dia, rid. Kalau hanya tak boleh makan dan minum kan gampang tuh.” Eh, gampang ya? Ujarku dalam hati. “Kalau menyoal sifat yang lain kan letaknya di hati. Biarpun terlihat seperti orang puasa di luar mana tahu di dalamnya seperti apa. Kalau sudah begitu kan puasa tidaknya seseorang hanya dia dan Allah saja yang tahu.”
Aku mencerna setiap kata yang dimuncratkan Ikhsan. “Memangnya kenapa chan kalau skala penilaiannya dari dalam diri kita?”
“Nah! Itu dia! Cobaan terbesar bukan menahan yang tak boleh dilakukan tetapi kesadaran akan apakah diri sendiri sudah pantas disebut orang puasa atau sekedar pura-pura puasa.”
Ikhsan mengakiri khutbah sembari melenggang menuju kumpulan anak yang sedari tadi merapihkan posisi kembang api. Ikhsan dengan kerennya menyulut sumbu petasan. Memang hanya Ikhsan seoranglah di antara kelompok umur kami yang berani menyalakan petasan. “Yang lain terlalu takut, takut pada prasangka-prasangka yang tak ada dalilnya.” Kata Ikshan tempo hari.
Sumbu semakin luruh disumut api. Anak-anak berlarian menjauhi petasan sembari kedua tangan mengatup daun telinga kuat-kuat. Hanya Ikhsan yang memegang korek di tangan kiri dan senyumnya merekah bahagia. Maka, ketika petasan naik ke angkasa, saat percikannya menyebar dalam pekatnya malam adalah saat-saat terindah bagi kami para anak-anak dalam menyambut puasa. Lantas kami tertawa kegirangan, mulanya hanya sepantasnya saja, lalu ketika tertawa kami terbahak-bahak cetar membahana, maka saat itu pula para tetangga akan keluar dari balik pintu rumah dan mengucap sumpah serapah. Maka saat itu menjadi akhir dari bahakan kami lantaran harus bergegas meninggalkan pekarangan, masih dengan tertawa-tawa kecil. Ah, aku ingin puasa selamanya.
***
Adzan Isya baru sepersekian detik yang lalu diteriakkan. Abah sudah rapih mengenakan koko dan bersarung hitam hendak salat di masjid. Kata Abah akan salat Isya dilanjutkan dengan tarawih. Aku yang sedari tadi dipaksa ikutan tak dapat berbuat banyak. Hanya mengiyakan saja ajakan Abah, toh dapat uang jajan tambahan seribu rupiah. Lumayan.
Jalanan ramai oleh orang berbaju muslim hendak salat di masjid. Abah menyalami setiap laki-laki yang ditemui. Beberapa dari mereka tak lupa juga menyalamiku yang sedari tadi berada di samping Abah. Sesampaianya di masjid sudah penuh oleh orang berjibun. Oh, jadi ini puasa. Saat masjid bahkan sampai tak muat menampung para jamaahnya. Lantas Abah masuk ke bagian dalam masjid dekat tempat imam salat. Aku ditinggal di belakang. Bukannya apa, melainkan takmir masjid tak membolehkan kami para anak-anak salat di bagian dalam.
“Mau salat aja dibeda-bedakan.” Gerutu Ikhsan yang tiba-tiba muncul dari belakang. Aku hanya dapat diam menaggapinya. Mau bagaimana lagi? Ujarku beretorika. Lantas kami menuju lantai dua masjid, tempat salat yang kesemuanya anak-anak. Oh jadi ini puasa, saat jumlah anak-anak yang bertandang ke masjid tak lebih sedikit dari para remaja dan orang tua.
Kalau memang setiap kali puasa selalu begini, aku ingin puasa selamanya.
***

No comments: