Beringin di Ujung Tikungan

3:44 AM

Cerpen oleh Mohamad Nasirudin

Dilihat dari manapun, pohon beringin di tikungan jalan itu selalu terasa janggal. Letaknya yang menjorok ke badan jalan menarik perhatian siapapun yang lewat. Akarnya yang semakin besar selalu terlihat seperti mengangkat dari tanah. Jika diperhatikan dari dekat akan terlihat semangkuk kembang bermacam dan telur ayam, sesajen warga setempat.

Dulu semasa kecil aku dan beberapa teman iseng-iseng mencuri telur itu untuk direbus di sawah belakang SD yang tak jauh dari pohon beringin itu. Tentu jika belum keduluan ular-ular sawah. Kendati orang tua selalu bilang pamali, toh nyatanya sekarang kami masih sehat-sehat saja. Dibandingkan terakhir kulihat, kini sesajen lebih mewah dengan beberapa aksesori dari buah-buahan. Pak Darno dari RT sebelah yang ranjing memberikan sesajen. “Biar nggak sial” kata pak Darno tempo hari.

Bagaimanapun, si beringin adalah sebuah fenomena. Berbagai cerita mistis melekat seperti akar gantung yang melilit cabang beringin. Seperti halnya penjual bakso yang suatu ketika dirugikan oleh hantu, peri, dan setan yang bertransaksi dengan daun kering saat berjualan di bawah si beringin, atau ketika pasangan muda-mudi yang diganggu ketika sedang berasyik masyuk ria. Apalagi ketika setahun yang lalu si fulan nekad gantung diri di cabang beringin lantaran tidak lulus ujian. Maka kesan mistis si beringin semakin melekat di kehidupan warga.

 Cerita perihal beringin keramat selalu saja seperti cendawan di musim hujan, tak berkesudahan. Sekalinya cerita berkumandang, dengan segera akan tersebar kepada pada setiap warga. Bumbu-bumbu ditambahkan di sana-sini sehingga cerita si beringin semakin nggak genah. Nyatanya warga nerimo saja pada setiap cerita yang beredar. Seakan-akan ketika mengkritisi si beringin maka akan tertimpa malapetaka. Dan warga tidak ingin tertimpa malapetaka. Warga pasrah begitu saja. Pun ketika pak Kiai berkutbah di pengajian malam Jumat.

“Sebagai seorang muslim, kita harus percaya hanya kepada Allah semata. Setan punya semilyar cara untuk menjerumuskan kita kepada kesyirikkan, namun kita hanya perlu satu cara untuk menghalaunya yakni dengan hanya percaya pada Allah subahanallohu wa taala. Percaya dengan hal-hal mistis dan sebagainya hanya akan membuat kita menjadi musyrik. Ingat para hadirin, sekalinya seorang manusia menjadi musyrik, tak dapat lagi kita diterima di sisi-nya.” Hadirin khidmat sejenak, meresapi setiap kata-kata pak Kiai yang super lugas. Mereka meyakini kebenaran tersebut, mencoba menjadi seperti yang apa Pak Kiai ilustrasikan. Mereka tahu, sebagai muslim sudah seharusnya hanya takut kepada Allah semata, namun ketika cerita si beringin semakin larut dalam nuansa kehidupan maka mau tak mau akan ada sedikit ketakutan pada si beringin. Maka dengan keimanan yang sebesar kemiri mereka mencoba untuk tak terlalu perduli dan berusah menghindari si beringin.

Setidaknya itu yang terpikir olehku sampai suatu pagi di hari Minggu terdengar kabar sepasang remaja tertangkap melakukan tindakan asusila. Entah kabar dari mana nyatanya warga sudah ramai di halaman rumah pak RT. Usut punya susut, pelaku dalam kasus ini rupanya warga desa tetangga. Namun bukan ini yang membuat warga merapat, melainkan lokasi TKP yang berada di naungan beringin tikungan jalanlah yang menjadi penarik hati warga. Maka, manakala seorang berinisiatif pada pemangkasan si beringin, warga belingsatan.

“Agar kejadian ini tak berulang, sudah sepantasnya kita membereskan tempat itu. Lagipula dari dulu tempat itu selalu remang-remang sehingga punya potensi dijadikan tempat perbuatan tak pantas ditiru.”

“Tapi apa ndak apa-apa Pak Deny, di situ kan angker.”

“Lho? Kenapa lagi Bu Harta? Daripada buat mesum anak jaman sekarang, mending kita bereskan dong. Saya jamin nggak akan ada apa-apa”

Entah kenapa warga tak terlalu yakin dengan perkataan Pak Deny, terutama pada penekanan kata “tidak akan ada apa-apa”. Maka dengan berbagai perdebatan kecil akhirnya warga sepakat mengambil risiko, pohon beringin di tikungan jalan akan dipangkas secepatnya. Setelah mengembalikan si remaja kepada orang tua lantas pak RT meminta bantuan pada orang pintar. Hari baik ditentukan, ritual dijalankan untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan.

Riuh kerumunan warga menyaksikan eksekusi si beringin. Kejadian yang tak mesti bisa disaksikan setiap tahunnya membuat tikungan jalan sesak oleh warga yang juga berasal dari kampung sebelah. Hebatnya lagi jalan sampai ditutup selama proses eksekusi. Ijab Kabul yang dilaksanakan hari itu terpaksa berganti hari lantaran antusias warga lebih besar pada si beringin ketimbang pada si kedua mempelai.

Maka, ketika gergaji mesin bergemuruh dengan gigi-gigi yang siap menggorok si beringin, warga terdiam. Berharap pada kejadian dramatis seperti apa yang akan ditampilkan si beringin di tikungan jalan. Seperti mengkhianati keinginan warga, proses eksekusi berjalan lancar. Si pemotong kayu dengan sigap membelah batang beringin bediameter sekurang-kurangnya dua meter menjadi balok-balok rapih. Balok-balok ini sudah dibeli pengusaha kayu dari kampung sebelah, dengan harga murah.

“Aku heran.” Kata seorang bapak yang berdiri di sebelahku. “Biasanya kalo pohon kayak gini bakalan ada kejadian. Tapi ini kok nggak ada apa-apa ya.”

“Saya juga heran, pak.”

Heran. Ketika beringin di tikungan jalan itu telah membuat warga setempat percaya dengan mistis dan menyekutukan Allah tak banyak yang ambil peduli. Namun ketika sepasang remaja yang berzina langsung heboh se-RT. Padahal seorang pelaku zina seburuk apapun masih berkesempatan mendapat tempat di sisi-Nya, tetapi tidak dengan seorang musyrik. Warga memiliki prioritas yang salah antara tindakan zina dan fenomena syirik.

“Aku yakin si pembeli kayu bakalan kena kejadian.” Lagi-lagi kata bapak di sebelah. 

***

No comments:

Powered by Blogger.