Semesta Aaditya

4:29 AM
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin


Setiap orang selalu pernah mengalami keajaiban dalam kehidupannya. Keajaiban-keajaiban yang datang begitu saja, masuk tanpa permisi, dan bahkan tak sempat melepaskan alas kaki. Timun Mas mendefiniskan keajaiban dengan empat bumbu dapur pemberian Simbok yang kelak ia gunakan untuk menghalau Buto Ijo; hujan mendefiniskan keajaiban dengan sapuan pelangi kala reda; sedangkan dalam semesta Aaditya, keajaiban terbagi dalam tiga hal.
Keajaiban pertama adalah perempuan berkacamata setebal roti bakar, Bu Hastuti. Dia adalah perempuan yang dengan segala kehebatannya melahirkan Aaditya pada 15 tahun silam. Keajaiban Pertama Aaditya ini sedang buru-buru sarapan karena waktu sudah menunjukkan pukul 06:45. Hanya 15 menit sampai bel sekolah tempatnya bekerja akan berkumandang.

“Bu Ibu.”

“Apa, Dit Aadit?”

“Ibu inginnya Aadit nikah kapan?”

“Heh? Emang sudah ada yang mau sama kamu?”

“Belum. Tapi kan bisa diatur.”

Bu Hastuti hanya bisa ketawa kecil mendengar celotehan anak laki-laki semata wayangnya.

“Terserah kamu saja, Dit.”

“Berarti pas umur 50-an aja, deh.”

“Heh? Kok begitu?”

“Katanya terserah Aadit.”

“Jangan begitu, ah,” keluh Bu Hastuti yang kini sudah selesai sarapan. “Kan ibumu ini juga ingin kelihatan cantik pas foto kawinanmu. Hmm... begini saja, deh. Kamu harus nikah sebelum umur 30. Bisa?”

“Oke. Nanti siang aja, kalau gitu.”

Bu Hastuti ketawa lagi, membuat kacamatanya sedikit bergeser dari posisi. Setelah membetulkan letaknya, Bu Hastuti berujar sebelum keluar rumah. “Ada-ada saja kamu, Dit! Sudah, ah! Nanti Ibu telat. Kamu juga buruan berangkat sekolah. Jangan telat lama-lama.”

“Siap, Bos!”

“Sama... kamu sudah beres-beres, kan? Jangan sampai ada yang ketinggalan, lho! Habis sekolah jangan main-main. Sore kita sudah berangkat, soalnya.”

“Baik, Baginda Ratu!”

Ada senyum kecil diiringi gelengan kepala pelan di Keajaiban Pertama Aaditya. Bu Hastuti pergi dengan ojek pesanan sementara Aaditya bengong sebentar menatap kepergiannya. Berada lama-lama di ruang makan yang sepi perabotan membuat Aaditya merasa terasingkan. Itu sebabnya ia bergegas berangkat sekolah.

****

“Dit, Dit, Dit, Luna tuh!” Senggolan Cungkring pada bahu Aaditya nyaris menumpahkan bakso kesayangannya ke atas meja. Beruntung Aaditya memiliki refleks luar biasa menanggapi gerakan temannya yang sering kali di luar nalar.

“Iya, aku tahu.”

“Gitu aja?”

“Ya. Gitu aja. Kan, bukan siapa-siapa.”

Cungkring memandangi wajah Aaditya dengan tatapan menggoda yang terlalu memuakkan untuk dilihat lama-lama. Kepalanya dimiringkan sedangkan matanya berpercikkan binar. Andai orang lain melihat Cungkring kala itu, sudah cukup untuk menumbuhkan prasangka jika dia penjahat seksual yang hendak berbuat tidak-tidak.

“Dit, kalau kamu gitu terus entar Luna aku ambil lho!”

“Ambil aja, Cungkring. Kalau kamu, aku mah ikhlas lahir batin.”
Cungkring menghela napas tak senang mendengar lelucon sahabatnya. Dia lalu menoleh ke samping, untuk setidaknya mengalihkan pandangan dari wajah muram sahabatnya. “Kamu paling tahu, Dit, kalau aku nggak akan rebut gebetan teman sendiri.”

“Makanya, aku ikhlas karena kamu nggak bakalan ambil.”
Cungkring tertawa kecil, kemudian diikuti pula oleh Aaditya.

“Eh, Dit. Pulang sekolah ayo kita ke pantai!”

“Nggak mau. Harus buru-buru akunya, Cungkring.”

“Sebentar doang juga!”

“Nggak mau.”

“Yakin, nih?”

“Yakin banget!”

Setelah berdebat cukup lama, pada akhirnya mereka berdua pergi ke pantai sepulang sekolah. Aaditya berdiri di gerbang sekolah menunggu Cungkring yang pergi ke toilet sesaat setelah bel pulang berkumandang. Dalam masa-masa menunggu inilah Luna datang.

“Hai, Dit.”

“Oh hei, Lun.”

Lalu hanya diam penuh kecanggungan di antara keduanya.

“Mau bilang apa, Dit?” tanya Luna memecah sepi.

“Maksudnya?”

“Iya. Tadi Cungkring bilang kamu mau ngomong sesuatu ke aku. Dia bilang kamu nunggu aku di gerbang sekolah. Makanya ini aku samperin kamu di sini.”

Aaditya diam sejenak menerka-nerka maksud Cungkring. Pikirannya berpikir sebentar hingga ia bisa menyimpulkan apa yang sahabatnya rencanakan pada dirinya dan Luna. Bagaimanapun, Cungkring adalah Keajaiban Kedua Aaditya dalam semestanya.

“Oh... itu maksudnya aku mau ngajakin kamu ke pantai.”

“Eh? Tapi aku nggak bawa baju ganti.”

“Nanti aku pinjemin hoodie.”

“Hmm... berdua aja, Dit? Cungkring mana?”

“Cungkring lagi nggak enak perut.”

“Ih... nggak mau ah kalau berdua doang.”

“Nggak papa.”

“Nggak mau.”

“Mau, dong.”

“Nggak.”

****

Desir angin menampar wajah Aaditya dan Luna tanpa ampun. Beruntung mendung sedang bergelayut sehingga siang itu terik tak begitu menantang di pantai belakang sekolah. Hanya 15 menit perjalanan dan mereka berdua bisa sampai di bibir laut dengan segala keamisan yang semerebak.

Mereka berdua menghabiskan waktu dengan bermain air. Penuh kegirangan seperti anak kecil pertama kali diajak ke pantai. Puas bermain air, keduanya duduk bersila di bagian pasir yang bergunduk. Menatap jauh pada horizon di sebelah selatan. Berdiam ditemani ketenangan dan hanya desiran suara angin yang menyuling. Rasanya, waktu berjalan begitu cepat bagi mereka berdua. Masih terasa baru kemarin sama-sama memasuki SMA, sekarang sudah pertengahan tahun saja.

“Kamu suka laut, Dit?”

“Kok tanya gitu?”

“Soalnya kamu kelihatan senang kalau main ke pantai. Kamu juga baru kemarin ke pantai bareng Cungkring kan?”

“Kok tahu?”

“Kebetulan aku lihat.”

“Oh....”

Aaditya memandangi perempuan dengan rambut yang dikucir belakang di sampingnya. Dia lalu mendekat, begitu dekat hingga terlihat seakan Aaditya ingin menyatu dengan Luna. Pada suatu gerakan, Aaditya membaringkan kepalanya ke pangkuan Luna.

“Dit! Apaan nih?!” ucap Luna dilanda kepanikan saat Aaditya membaringkan kepala ke pahanya. Apalagi Aaditya kelihatan cuek dengan begitu luwesnya memakai pahanya untuk ganti bantal.

“Ngantuk, Lun. Anginnya kenceng, sih!” ucap Aaditya dengan mata terpejam.

Luna memandangi sekitar. Setelah dirasa tak ada orang lain selain mereka berdua di pantai itu, ia membiarkan pahanya digunakan sandaran oleh Aaditya. Dia lalu mengamat-amati wajah Aaditya dengan saksama. Wajahnya tegas dengan alis mata yang tebal dan bulu mata yang panjang-panjang. Bibirnya tipis dan semerah ceri, membuat Luna segera mengalihkan pandangannya karena konsentrasinya terusik. Saat melihat rambut Aaditya yang basah, terbersit hasrat untuk mengacak-acak rambut itu. Namun segera Luna urungkan karena Aaditya keburu bangun.

“Aku suka laut, Lun,” ucap Aaditya dengan tatapan tepat di manik mata Luna. Luna tahu apa yang Aaditya ucapkan. Tapi, entah mengapa Luna merasa seakan Aaditya baru saja bilang suka padanya.

“O-oh... emang sukanya kenapa?”

“Karena hanya laut yang bisa menghubungkan jarak abadi antara pulau ke pulau.”

Luna masih belum dapat memahami ucapan Aaditya. Baginya, apa yang baru saja Aaditya ucapkan terasa begitu tersirat. Ingin menanyakan maksud, Aaditya keburu memejamkan matanya lagi sambil berucap lirih.

“Tenang saja, Lun. Aku masih di sini. Kalau aku mau pergi, sudah pasti aku akan pamit. Aku sudah cukup dewasa untuk tidak begitu saja pergi tanpa kabar.”

Luna, pada saat itu, hanya menerawang ke arah samudra. Hatinya sesak. Seakan ada sesuatu yang tak beres dengan segala ucapan yang Aaditya keluarkan.

****

Paginya, Luna bertemu Cungkring di gerbang sekolah.

“Oi, Cungkring!” teriak Luna sambil menabok punggung laki-laki kurus itu.

“Aih, apaan sih, Lun? Pagi-pagi udah berisik.”

“Justru kamu yang apa-apaan, Cungkring! Bohongi aku biar bisa ke pantai berdua samaa Aadit. Tapi nggak papa, sih. Malah harusnya sering-sering gitu.”

Cungkring menyipitkan mata merasa tak paham dengan perkataan Luna.
“Oh, ya. Aadit mana?” tanya Luna kemudian. “Biasanya kalian berangkat bareng? Aku mau ngembaliin hoodie yang kemarin dia pinjemin.”

Cungkring menghentikan langkahnya menuju ruangan kelas. Luna yang sedari tadi sejajar dengannya baru tersadar kemudian jika Cungkring tertinggal di belakang. Dengan penuh keheranan, Luna menghampiri Cungkring sambil bertanya, “Kamu... nggak papa, Cungkring?”

“Lun... Aadit nggak bilang ke kamu?”

“Bilang apa?”

Heran semakin nampak di permukaan wajah Cungkring. Dia kebingungan, tapi pada akhirnya ia putuskan untuk berbicara.
“Aadit kan pindah.”

“Pindah?”

“Iya. Neneknya Aadit sudah uzur, Lun. Makanya ibunya Aadit balik ke kampung halaman buat ngerawat beliau. Aadit juga ikut. Kemarin sore baru berangkat. Aku yang nganterin mereka, soalnya.”

“Heh? Pindah ke mana?”

“Nias.”

“Nias? Jauh banget!”

Luna merasa beku. Pikirannya kalut. Kacau dan tidak keruan. Semuanya terlalu tiba-tiba sehingga ia kebingungan harus bagaimana. Cungkring yang sedari tadi melihat kekalutan dalam Luna kemudian menuntunnya untuk duduk di bangku depan kelas.
Lirih sekali Cungkring bertanya, “Kamu yakin Aadit nggak pamit sama kamu?”

“Nggak, Cungkring. Kemarin kita ke pantai cuma main air terus....”
Luna menghentikan ucapannya. Tiba-tiba ia teringat ucapan Aaditya saat tiduran di pangkuannya.

“Kalau aku mau pergi, sudah pasti aku akan pamit.”

“Kayaknya Aadit emang sudah pamit,” ucap Luna kemudian.
Lalu, Luna menceritakan hal-hal yang ia lakukan bersama Aadit kemarin sore di tepian pantai. Tidak semua yang Luna ceritakan, tapi sebatas pada hal-hal yang masih diceritakan. Dia menceritakan kalimat  “Kalau aku mau pergi, sudah pasti aku akan pamit.” Kalimat ini, jika dihayati lebih dalam juga berarti bahwa Aaditya baru saja mengucapkan pamit kepadanya. Luna berkeluh kesah karena tak berhasil memaknai maksudnya dengan segera.

“Tapi... yang bikin aku heran, kenapa Aadit nggak langsung bilang aja sama aku?”

“Kamu kan tahu Aadit orangnya gimana. Dia paling benci sama perpisahan, Lun. Di kelas kita aja yang tahu kalau dia mau pindah cuma aku. Hari ini pasti temen-temen bakalan heboh. Emang ngeselin tuh anak.”

“Tapi, Cungkring... aku... aku....”
Cungkring menghela napas dengan berat dan enggan.

“Aku heran sama kalian berdua. Udah jelas-jelas suka sama suka masih aja diem-dieman. Terlalu drama, kalian ini,” ucap Cungkring dengan tawa kecil. Dia lalu memberikan HP miliknya kepada Luna.
“Ini nomornya Aadit. Telepon, gih.”

“Ah... iya juga, ya? Kok aku nggak kepikiran buat telepon?”

“Makanya jangan terlalu drama,” timpal Cungkring sambil berlalu. Sebelum jauh, Cungkring lalu bilang sambil setengah berteriak.
“Entar kalau udah selesai telepon, langsung balikin ke aku! Jangan buka-buka gallery, ya?”
Luna memberikan tanda OK dengan tangannya. Dia lalu buru-buru menelepon Aadit yang oleh Cungkring diberi nama “Monyet” dalam kolom nama kontak. Hanya bunyi dering sebelum Aadit mengangkatnya di seberang.

“Halo?”

“Jahat!”

“Siapa yang jahat, Lun? Sini biar aku pukul.”

Tak dapat dipungkiri ada senyum tipis tersungging di bibirnya. Tapi dia ingin tetap berpura-pura marah pada Aaditya. “Kok kamu tahu ini aku? Kan ini HP-nya Cungkring.”

“Apa sih yang nggak aku tahu tentangmu?”

“Huh... jadi itu yang kamu omongin sehabis kabur tanpa bilang-bilang.”

“Kan aku udah pamit sama kamu, Lun.”

“Tapi kamu tetep jahat! Sebagai hukumannya, kamu mesti tampar pipi 10 kali.”

Kemudian, terdengar suara tamparan diiringi dengan suara mengaduh yang berlebihan. Lagaknya sangat berlebihan hingga tak ayal Luna gagal menahan sikap judesnya. Tawanya pecah saat Aadit berhasil menyelesaikan 10 tamparannya.

“Kamu suka kalau aku tersiksa gini, ya?”

“Biarin. Kamu jahat, sih!” ucap Luna dengan nada manja. “Sudah ah, mau aku tutup.”

“Kok sebentar aja, Lun?”

“Iya. Kan masih marah.”

“Oh...” ucap Aadit dengan nada lesu. “OK, kalau gitu.”

Diam untuk sejenak.

“Tapi entar malam mungkin aku udah nggak marah. Jadi, nanti malam kita telepon-teleponan lagi. Terus kamu juga mesti cerita semuanya, OK?”

“Baik, Jenderal!”

Ada suara tut saat Luna menutup teleponnya. Aaditya yang mendengarnya hanya bisa tersenyum kecil. Senyuman yang terasa aneh hingga membuat ibunya yang duduk di samping mengerutkan alis penuh kecurigaan. Sementara Aaditya, dia hanya menolehkan kepala memandangi laut dengan pijaran sinar matahari pagi yang berkilau. Laut yang ia sukai karena selalu bisa menghubungkan jarak abadi antara pulau ke pulau.

Dalam kehidupan, keajaiban selalu datang tapi tak akan pernah pergi. Itu sebabnya Aaditya tahu jika Luna akan selalu ada dalam kehidupannya meski terpisah lautan seluas apapun. Bagaimanapun, dalam semestanya Luna adalah Keajaiban Ketiga Aaditya.

***

No comments:

Powered by Blogger.