Hari Pasar
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin
Seorang pemuda berbadan atletis menggendong sekarung kubis segar dan lembab. Peluh membasahi sekujur tubuhnya yang hanya tertutup kaus kutang kekuning-kuningan. Kedodoran dan penuh lubang di setiap sisinya. Kendati tak seironis pengemis dalam buku pelajaran sekolah, setidaknya kaus kutang itu sudah layak untuk dijadikan kain pel. Genangan air di lantai pasar sisa hujan semalam tak mengurangai kelincahan jalannya.
Habis mengangkut tumpukan kubis, pemuda itu menuju ke arah kios kami yang berada di bagian terluar dalam deret-deret kios pasar. Kios kami mempunyai dua arah pintu. Satu pintu menghadap ke arah dalam pasar sedang sisi lain menengadah ke jalan aspal di luar pasar. Pemuda itu bernama Tarjo, datang dari arah luar pasar.
“Yu As, Djarum Super,” ucap Kang Tarjo memesan rokok.
Sama sekali tak ada niatan bagi Emak untuk melayani pelanggan sehingga akulah yang mengurusi pesanan Kang Tarjo. Aku menuju rak kayu, berjinjit untuk mengambil salah satu bungkus rokok. Ringan. Kubuka isinya, kosong. Kuambil satu lagi di sampingnya, juga kosong. Hingga pada kotak rokok terakhir pada deretan Djarum Super, semuanya kosong. Emak yang sedang memilah cabai kering lantas memberi tanda agar aku mendekat.
Setengah berbisik Emak berkata, “Nduk, minta rokok sana ke Yu Tiah. Ngutang dulu. Cepetan!”
Buru-buru aku keluar lewat pintu yang menghadap ke dalam pasar. Dengan gesa namun tetap berusaha tenang agar Kang Tarjo tak curiga, aku berlari menuju kios Yu Tiah yang berjarak lima kios dari punya Emak. Di sana, Yu Tiah masih memasang tampang tidak sukanya yang khusus ia buat setiap kali aku datang. Entah karena aku selalu datang hanya untuk mengutang atau karena rasa bencinya pada Emak yang mengakar.
Pun demikian, pada akhirnya Yu Tiah rela juga meminjamkan barang dagangannya padaku. Tetap dengan tampang judes, tetap dengan perasaan muak yang hampir dimuntahkan, dan tetap dengan kebaikannya yang entah kenapa terasa lebih tulus dari siapapun juga. Maka, setelah mengutang sebungkus rokok aku berlari kembali untuk menyerahkan pesanan Kang Tarjo.
“Makasih, Mariana,” kata Kang Tarjo sambil senyum gagah.
Kang Tarjo lalu menyalakan rokok dan menyesapnya seakan ada kenikmatan luar biasa di sana. Aku hanya dapat memandanginya lamat-lamat, terkenang pada sosok bapak. Sehabis memberiku satu senyuman, Kang Tarjo berpamit guna melanjutkan tugasnya sebagai kuli pasar.
Aku menghela napas, panjang dan berat. Akhir-akhir ini usaha kios yang digeluti keluargaku kurang mujur. Modal yang tak seberapa tak akan cukup untuk membeli barang dagangan tambahan. Ditambah dengan biaya sewa kios yang makin mahal setiap periodenya. Hanya tinggal menunggu waktu hingga kios ini ditutup lantaran nunggak sewa dua bulan. Tanpa adanya Yu Tiah, kakak tiri Emak, yang juga membuka kios sembako di pasar, dan Kang Tarjo, satu-satunya langganan kios ini, rasanya takkan mungkin kami bisa bertahan. Lagi pula, hanya kotak-kotak kosong saja yang bisa kami perdagangkan.
***
Matahari semakin condong ke barat. Pasar semakin sesak oleh orang-orang yang hendak belanja. Segala jenis manusia terhimpun ikut berkontribusi dalam bau menyengat keringat bercampur semerbak kubis kadaluarsa.
“Nduk...” suara Emak terasa berat. “Sini bantu Emak bungkusin pala. Dari pada melamun di situ.”
Aku beranjak malas.
“Pala-nya dibungkus sebesar ini.” Emak menunjukkan takaran pala yang harus dibungkus plastik. Aku mengambil sebuah, memasukkan ke dalam plastik kemudian dengan hati-hati menutupnya dengan mendekatkan pada senthir bekas botol Krating Daeng.
Hening untuk beberapa saat.
“Sekolahnya gimana, Nduk?”
“Baik, Mak.”
Kembali hening.
Mata Emak nanar, aku tahu apa yang sedang beliau pikirkan. Tak lebih dari satu bulan lagi aku genap bersekolah di Sekolah Menengah Pertama. Itu artinya aku harus melanjutkan ke jenjang berikutnya, jika dimungkinkan.
Dan rasanya tidak mungkin.
Mengingat minimnya persediaan uang Emak serta menimbang segala tetek bengek penerimaan siswa baru SMA, aku ikhlas, sangat ikhlas malah jika nantinya aku tidak melanjutkan ke SMA. Sejak awal, sekolah selalu terasa jauh dari gapaian. Aku tidak pintar, sangat berlawanan dengan epitom gadis dari golongan tak berada dalam gambaran novel-novel sekarang.
Meski begitu, sama sekali tak kuutarakan keikhlasanku pada Emak. Takut membuat Emak nelangsa karena putri semata wayangnya menyerah pada pendidikan. Lagi pula, sedari awal pembayaran kios yang nunggak semata-mata demi menutupi biaya sekolahku juga.
Duh, mengingat semua yang terjadi akhir-akhir ini membuatku berpikir adalah sebuah mukjizat sayur kangkung dan tempe goreng untuk sarapan tadi pagi berhasil dihidangkan di meja makan. Apa lagi setelah semalam Pak Basri sampai datang ke rumah demi menagih setoran untuk sewa kios pasar.
“Mak...” kataku pelan, masih segan untuk bertanya. “... sudah ada yang buat bayar sewa kios?”
Emak diam sebentar. Namun tak lama kemudian melanjutkan kegiatannya membungkus biji pala ke dalam plastik-plastik kecil. Emak pun kemudian berkata, “Sudah. Jangan dipikirkan. Itu jadi urusan Emak. Tugasmu sekolah yang bener biar besar ndak seperti Emak.”
Kini giliran aku yang diam. Rasanya, ingin sekali kuungkapkan pada Emak bahwa aku sangat tidak pandai sekolah. Nyaris mustahil kelak bisa hidup lebih baik dari yang sekarang. Satu-satunya pilihanku hanyalah menikahi pria yang bisa diandalkan dari segi finansial dan berusaha sekeras tenaga mengurus urusan rumah agar suami betah.
“Mak...” kataku lagi jauh lebih pelan. “... apa pinjam dulu ke Yu Tiah?”
Emak mendelik dan berhenti melakukan kegiatannya sama sekali.
“Sudah dibilang itu urusan Emak, ya urusan Emak!”
“Tapi, Mak....”
“Ndak ada tapi-tapian.”
“Mak, meski Yu Tiah kelihatan judes ke kita tapi sebenarnya beliau baik. Cuma Yu Tiah yang mau meminjamkan barang dagangannya ke kita, Mak. Bisa diutang, malah.”
“Sudah. Jangan dibahas lagi!” ucap Emak sambil bersungut-sungut.
Sebenarnya aku ingin membahas ini berapa lamapun sampai Emak dan Yu Tiah saling berdamai dengan dirinya masing-masing. Hanya saja, saat itu ada orang yang datang untuk membeli beras sehingga mau tak mau pembicaraan ini terpotong oleh keadaan.
Saat sedang menakar beras di timbangan, Emak bangkit dari posisinya bersimpuh sambil berkata, “Emak pergi dulu. Kamu jaga warung dulu, Mariana. Jangan ditinggal-tinggal!”
“Iya, Mak.”
Dari anak mata kulihat Emak berjalan enggan menuju kios Yu Tiah. Langkahnya terlihat ragu-ragu. Ragu yang membuat Emak tak jadi berhenti di kios Yu Tiah, malah melewatinya begitu saja seperti anak kecil menahan takut saat melewati kompleks pemakaman.
Ah, Emak....
***
Aku menghabiskan banyak waktu dengan melamun demi menunggu Emak yang tak kunjung balik dari tadi. Memang baru sekitar 20 menit Emak pergi, tapi terasa sangat lama penantian ini karena pembeli yang sepi. Meski sibuk pergi ke bulan, aku berhasil menangkap sosok Pak Basri di antara pengunjung yang lalu lalang. Badannya yang tambun dan kumis tebal khas aktor India miliknya selalu berhasil menarik perhatian.
Kuhampiri Pak Basri dengan enggan yang kusimpan rapat-rapat.
“Sore, Pak,” seruku dengan nada riang.
Pak Basri menatapku lamat-lamat. Alisnya bergerak seakan sedang berpikir dengan keras. “Oh, ya. Kamu Maria, kan? Anak gadisnya Yu Menik?”
“Iya, Pak. Itu saya.”
“Ya. Ada apa?”
Aku menoleh ke sekitar, kemudian menarik tangan Pak Basri dari tengah kerumunan orang yang berjalan. Aku menuntunnya menuju gang sempit yang tak begitu jauh dari kiosku berada. Kupegang tangan pria paruh baya itu dengan erat hingga kurasakan ada perubahan raut wajahnya.
“Tangan bapak besar juga, ya?” ujarku beretorika.
“Ehm... iya,” jawab Pak Basri terlihat resah.
“Garis tangannya juga bagus.”
“I-iyakah?”
“Iya. Garis asmaranya lurus dan menyambung. Ini artinya bapak terkenal di kalangan wanita.”
“Oh, iya dong. Saat SMA dulu, aku ini idaman gadis-gadis lho!”
“Sekarang juga masih jadi idaman, Pak.”
“Maksudnya?”
“Iya... maksudnya, sekarang bapak masih jadi idaman para gadis seumuran saya. Banyak lho, siswi-siswi SMP yang sukanya pria matang seperti bapak.”
“Sepertinya, ya,” ucap Pak Basri kemudian. Kurasakan Pak Basri mulai mengamati setiap inchi tubuhku. Dia lalu mengangguk-anggukkan kepala mematut sambil melanjutkan perkataannya, “Kamu benar anak gadis Yu Menik?”
“Betul, Pak. Memang kenapa, ya?”
“Ndak. Cuma kelihatan beda, begitu. Kamu lebih cantik.”
Aku tersenyum simpul. “Makasih, Pak.”
“Heran... gadis secantik kamu kok bisa luput dari mataku saat semalam bertamu ke rumahmu.”
“Bapak sibuk nagih setoran kios ke Emak, sih.”
“Mau bagaimana lagi? Itu sudah jadi pekerjaan bapak,” katanya masih ada sisa ketawa karena bangga. “Besok-besok kalau nagih setoran langsung ke rumah adik saja, deh. Sekalian bertamu, begitu.”
“Wah, harusnya bapak malah jangan sering-sering datang ke rumah.”
Kita berdua tertawa kecil bersama-sama.
“Benar juga, Dik. Kasihan emakmu kalau kudatangi melulu.”
“Makanya, bapak jangan suka datang ke rumah. Soal tagihan sewa kios, dirapel sampai bulan depan saja, Pak!”
“Waduh! Kalau ndak ke rumah adik, ke mana lagi dong? Masa ke hotel?” ucap Pak Basri memandangiku dengan senyum yang aneh. Aku mendengus kesal dalam hati karena Pak Basri seakan tidak memahami maksud perkataanku.
Aku pura-pura tersenyum kecil sambil berkata, “Bukan, maksudnya kalau Emak tidak punya uang setoran, biarkan dirapel bulan depan gitu.”
Pak Basri tertawa keras seakan menutupi canggung.
“Baiklah, Dik. Mulai bulan depan bapak bakal jadi penagih setoran yang baik khusus buat Yu Menik.”
“Ih, Bapak... jangan bulan depan, lah. Mulai bulan sekarang saja!”
“Kan bulan sekarang sudah dibayar.”
“Eh?” aku sedikit terhenyak mendengarkan ucapan Pak Basri. “Sudah dibayar?”
Pak Basri mengaggukkan kepalanya mantap. Sementara aku ada rasa bahagia dan haru yang menggebu. Aku tak menyangka Emak berhasil meminta uang pinjaman pada Yu Tiah. Kuharap ini bisa jadi jalan perdamaian mereka berdua.
“Makasih, Pak,”
“Kalau mau bilang makasih, ke Tarjo sana.”
“Tarjo? Kang Tarjo?”
“Iya. Kan, dia yang bayari setoran kios Emakmu itu.”
***
Ditunggu kedatangannya, Kang Tarjo belum juga muncul. Biasanya kalau sudah sore begini Kang Tarjo akan datang ke kiosku untuk membeli beberapa batang rokok. Apa dia kehabisan uang buat beli rokok, ya?
“Mak, aku pulang dulu.”
“Kalau sudah sampai rumah, jangan lupa panasi sayur.”
“Baik, Mak.”
Aku bergegas menuju kios Yu Tiah untuk utang sebungkus rokok Djarum Super kesukaan Kang Tarjo. Tak kuhiraukan tatapan judes Yu Tiah karena aku sedang buru-buru menuju jalanan aspal tempat biasa mobil pick up mengeluarkan muatannya. Di sinilah biasanya Kang Tarjo menunggu juragan yang butuh jasa kuli angkutnya. Sesampainya di sana, kulihat Kang Tarjo sedang duduk-duduk bersama kawan-kawannya.
“Kang Tarjo!” panggilku dari kejauhan. Setelah mencari-cari sumber suara, dia berhasil menemukanku yang lumayan jauh dari tempatnya duduk-duduk. Aku lalu melambaikan tangan sambil berkata lirih,
“Sini!”
Segera Kang Tarjo menghampiriku sambil diiringi sorak-sorai kawan-kawannya di belakang.
“Ada apa, Mariana?” tanya Kang Tarjo kemudian.
Aku menariknya ke gang-gang yang sepi, cukup jauh agar kawan-kawannya tak melihat kami berdua. Setelah itu, kuberikan sebungkuk rokok Djarum Super hasil utang ke Yu Tiah kepadanya.
“Apa ini?”
“Buat Kang Tarjo.”
Kulihat ada keraguan di matanya, namun kemudian diterima juga hadiah kecil dariku. Kurasa, ada percik kegirangan di manik matanya saat aku memberinya sebungkuk rokok yang sebenarnya bisa ia beli kapanpun.
“Kang Tarjo yang bayarin setoran kios Emak, ya?”
Kang Tarjo diam sejenak. Kemudian mengambil sebatang rokok, menyalakannya, dan menyesapnya dalam-dalam. Kuperhatikan, ada kenikmatan yang dalam setiap kali Kang Tarjo menyesap tuhan sembilan sentinya. Selalu begitu.
“Iya,” ucapnya dengan suaranya yang tebal.
“Kok begitu?”
“Kalau cuma sewa kios, aku bisa bayar kapanpun.”
“Tapi, kan tidak harus bayar punyaku.”
“Ndak papa. Sekarang ini aku baru bisa menafkahi kios milik Emakmu. Tapi suatu saat nanti akan kunafkahi kamu, Emakmu, dan sepuluh kios tambahan sekalipun.”
Aku terhenyak, tak benar-benar percaya dengan lamaran yang begitu saja dikumandangkan bujang berkaus kutang bolong-bolong itu pada gadis SMP sepertiku. Terlalu tiba-tiba membuat pikiranku mempat.
Ah, Emak. Harusnya kamu utang ke Yu Tiah saja!
***

No comments: