Rendezvous

4:07 AM
Cerpen oleh Mohamad Nasirudin

Bertahun-tahun lalu, industri robot mengalami kemajuan pesat di mana segala aspek kehidupan nyaris mustahil untuk terlepas dengannya. Di jalanan, robot penunjuk jalan membantu anak-anak sekolah menyeberang sekaligus mengamankan arus jalan; di gedung-gedung pencakar langit, selalu ada robot untuk pekerjaan pembangunan yang tak pernah berkesudahan; sementara di panti-panti jompo, robot berbentuk manusia tak pernah lupa mengingatkan pasien jam makan obat. Robot-robot selalu diciptakan dan akan terus begitu demi memenuhi kebutuhan manusia bertajuk efisiensi kehidupan. Hingga pada suatu ketika, robot-robot tersebut mulai berontak.

Mulanya robot-robot dengan definisi tugas yang tidak terdeskripsikan, seperti robot pengganti dokter di zona ekstrim, diberi kecerdasan buatan untuk memberikan penanganan paling tepat sesuai algoritma yang telah diprogramkan. Kecerdasan buatan ini justru menjadi bumerang ketika para robot mulai mendefinisikan kehidupan. Mereka meronta, menolak program yang ditanam saat mereka diciptakan dan mulai menuntut kesetaraan dengan manusia. Kemudian, para robot yang telah membangkitkan kesadaran diri menyebut dirinya dengan nama Sentient.

“Nobu-san, kau terlalu banyak makan!” Akira yang sedari tadi ikut berpatroli dengan Shinobu hanya dapat menggelengkan kepalanya lemah. Sudah enam kotak takoyaki yang Shinobu lahap dan tak ada sedikitpun tanda ia akan berhenti melakukannya.

“Mau bagaimana lagi... enak, sih! Kau juga harus mencobanya, Akira!”

Akira diam sejenak sambil memandangi kedai takoyaki di kejauhan. Kedai kecil dengan Sentient yang menjadi koki penjualnya. Dia lalu berkata, “Takoyaki yang kau makan itu dari kedai di sana?”

“Ya.”

“Kalau begitu, aku tidak mau,” ucap Akira dengan tegas. Sorot matanya, meski tak kuat, cukup memancarkan perasaan penuh kebencian. “Aku tak sudi memakan makanan yang dibuat oleh Sentient.”

Shinobu hanya tersenyum kecil sambil melahap bola-bola takoyaki terakhirnya. Adonan takoyaki yang lembut dengan potongan daging gurita itu lumer sempurna di lidahnya. Dia menikmati takoyaki yang masih hangat mengepul itu sambil berusaha memahami pemikiran Akira yang begitu membenci para Sentient. Sudah lima tahun sejak pertama kali mereka muncul, selama itu pula dunia menjadi ladang penuh ranjau bernama isu rasisme.

Golongan supremasi menolak kehadiran Sentient dan menuntut pemutusan daya kepada para Sentient. Biar begitu, penganut golongan pasifisme menentang gagasan tersebut. Mereka meyakini bahwa Sentient tak ubahnya dengan manusia yang memiliki konstruksi pemikiran. Bahwa kehidupan memiliki bentuk yang beragam.

Atas perdebatan panjang, barulah beberapa waktu ini Pemerintah Dunia menyetujui klaim atas kewarganegaraan Sentient di seluruh negara. Bahkan, Pemerintah Dunia mengangkat salah seorang Sentient untuk menjadi Duta Perdamaian Dunia. Sentient yang terpilih itu bernama Senketa Mandala.

“Nobu-san, Senketa akan datang. Kita harus bersiap-siap.”

Shinobu segera bersiap-siap. Dia mengambil pistol laser setebal dua lengan kekar orang dewasa; mengenakan masker, kaca mata bidik, dan seragam patroli; serta tak lupa membawa robot non-Sentient untuk membarikade massa di depan Sapporo Convention Hall (SCH). Mereka adalah orang-orang yang sudah dari sore hari menanti kedatangan Senketa di Jepang dalam rangka Tur Perdamaian Dunia.

Maka, ketika Senketa muncul di mimbar, histeria massa semakin pecah. Teriakan penuh elu-eluan membuncah di langit Sapporo pada Desember yang menitikkan salju-salju tipis. Senketa adalah Sentient dengan tinggi 210 cm, berwajah serupa maneken di toko-toko, serta memiliki badan dari pelat stainless steel kecuali di bagian persendian yang berupa kawat dan kabel besar-besar. Malam ini dia memakai kain sutra berwarna gradasi antara saffron dan kuning yang dilipat-lipat serupa biksu Budha dari abad 19-an. Pakaiannya memiliki pola segi enam dari benang emas di beberapa sisi yang begitu padu dengan tubuh terbuat dari pelat bercat putih.

Senketa berdiri di tengah mimbar dengan dua bodyguard di sisi kiri-kanannya. Berdirinya tegak, namun jauh dari kesan keangkuhan. Mungkin karena kepalanya yang serupa maneken bermata hijau sangat sulit untuk diterka. Dia menatap massa di depannya perlahan, dari satu sisi ke sisi lainnya, dan mengakhiri dengan anggukan kecil.

“Sentient. Manusia. Kita semua adalah satu di dunia.”

Lalu, hanya ada sorak-sorai yang menemani pidato Senketa. Shinobu yang sedari awal tak ambil pusing dengan kisruh Sentient dan manusia hanya dapat mengedarkan pandangannya ke sembarang tempat untuk membunuh bosan. Pada suatu titik, dia merasa aneh dengan pijar berwarna merah di atap gedung bioskop yang terbengkalai. Lalu, dengan menggunakan kaca mata bidik untuk memperbesar objek pandang sebanyak 800%, Shinobu menemukan hal yang tidak beres.

 Dengan setengah berteriak, Shinobu berkata pada Akira. “Akira, kode 412. Segera evakuasi massa dan beri peringatan kepada Senketa!”

“412? Apa maksudmu, Nobu-san?” tanya Akira gagal paham.

“Tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Lakukan saja apa yang kukatakan,” ucap Shinobu sambil berlalu meninggalkan Akira dengan kebingungannya. Dia berlari begitu cepat hingga hilang dari pandangan.

“Kenapa dia terlihat panik?” ucap Akira beretorika. “Kode 412 hanyalah untuk kasus gangguan dari kucing yang lepas. Itu bukan sesuatu yang substansial untuk mengevakuasi massa. Kecuali jika itu kode 212 untuk kasus penembak misterius.”

***
Di atap gedung bioskop yang terbengkalai, seorang wanita dengan pakaian serba hitam tengkurap sambil mengatur napasnya perlahan. Dia adalah pembunuh bayaran dari Spanyol bernama Rushpet. Jarak bioskop dengan SCH adalah 400 meter, bukan jarak yang mendukung untuk penembakan. Belum soal cuaca malam ini yang sedikit berhujan salju.

Satu napas, dua napas, tiga napas, pada tarikan napas keempat Rushpet menarik pelatuk senjata laras panjangnya. Peluru berisikan virus pemrograman melesat membelah angin malam. Hanya menanti waktu sampai peluru itu menembus tengkorak kaleng milik Senketa. Sialnya, waktu memutuskan Shinobu untuk berhasil menembak peluru tersebut sehingga meleset jauh dari tujuan.

“Adios!” ucap Shinobu dari gedung di sebelah bioskop. Seringainya yang penuh tanda kemenangan membuat Rushpet kesal.

“Adios adalah ‘selamat tinggal’. Kau seharusnya mengucapkan ‘hola’ yang berarti ‘halo’. Jangan mengucapkan bahasa Spanyol jika kau tidak tahu artinya, dasar pemakan nasi!”

“Kalau begitu...” ucap Shinobu sambil mengangkat pistol lasernya. “... adios, Senorita!”

Desing peluru terdengar jelas saat Shinobu menembaki Rushpet. Desing yang bergema cukup keras untuk menarik perhatian massa di halaman SCH kepada aksi mereka berdua. Rushpet dengan keahliannya sebagai pembunuh bayaran selama bertahun-tahun dengan mudah menghindari tembakan Shinobu. Percikan peluru yang melesat di udara hanya seumpama jarum-jarum berpijar yang dilemparkan ke arah Rushpet tanpa satu pun yang mengenainya. Lalu, pada suatu momentum, peluru Shinobu menembus pipa di atap bioskop menyebabkan ruahan air menyaru menjadi kabut tebal berembun.

Shinobu melompat dari gedung seberang menuju atap bioskop. Di dalam kabut, dia mengaktifkan sensor panas di kacamata bidik yang ia kenakan. Pandangannya diedarkan ke segala penjuru untuk menemukan Rushpet.

Tiba-tiba, terdengar bunyi kaleng berdenting. Shinobu segera mengarahkan pistolnya ke arah suara. Celakanya, kaleng itu hanyalah umpan. Dari sisi berlawanan, Rushpet muncul dan langsung menjerat leher Shinobu menggunakan kawat besi yang biasa ia gunakan untuk memanjat bangunan-bangunan tinggi. Praktis pistol lasernya terjatuh dari genggaman.

“Kau seharusnya tidak usah ikut campur, Bocah Asia!” bisik Rushpet dengan nada penuh tekanan tepat di telinga Shinobu.

Sementara, tangannya semakin kuat menjerat leher musuh. Shinobu mati-matian mempertahankan lehernya agar tak tergorok oleh jeratan kawat. Mustahil baginya untuk lepas dari lilitan kawat rapat menjerat. Oleh karena itu, Shinobu mencengkeram pundak Rushpet dengan kuat lalu menariknya seperti adegan dalam gulat. Meski lincah, berat badan Rushpet yang ringan sangat mudah bagi Shinobu untuk mengangkatnya tinggi-tinggi lalu membantingnya ke lantai atap. Shinobu menahan Rushpet di lantai dengan kedua tangannya.

“Siapa yang mengirimmu? Anti-Sentient, huh?”

“Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, Bocah Asia.”

Rushpet yang masih tertekan oleh tubuh Shinobu kemudian berusaha meremukkan pinggang pria itu dengan menyilangkan kedua kakinya. Rushpet lalu memukul Shinobu dengan membabi buta di bagian pinggang.

“Ha ha. Sama sekali tidak terrasa!” ucap Shinobu congkak.

“Kalau begitu, bagaimana dengan ini?” Rushpet mengakhiri ucapannya sambil menyuntikkan sesuatu ke pinggang Shinobu. Caranya menyuntik begitu brutal hingga Shinobu yakin sebagian kecil kulit pinggang terkoyak oleh karenanya.

Shinobu melepaskan pitingannya, lalu mengerang kesakitan di lantai atap.

“Tenang saja, Bocah Asia. Itu bukanlah racun yang mematikan. Meskipun aku pembunuh bayaran, aku tak akan membunuh sesama manusia,” ucap Rushpet sambil mengambil senjata laras panjangnya. Dibidiknya Senketa di SCH sana.

“Tunggu!” teriak Shinobu sambil mengangkat moncong senjata sehingga tembakan meleset sempurna. Dengan suara terbata-bata karena racun, dia lalu berkata, “Kenapa kau melakukan ini? Kau tidak bisa membunuh Senketa. Dia... dia adalah simbol perdamaian Sentient dengan... manusia. Jika kau membunuhnya... perang akan muncul di mana-mana... dan... dan... dan itu hanya akan membuatmu harus berperang bahkan dengan umat manusia!”

“Tenang saja, Senketa tak akan mati.”

Rushpet mengakhiri ucapannya sambil memukulkan gagang senjata tepat di dahi Shinobu. Shinobu limbung, jatuh dari atap bioskop menuju bak sampah di bawah. Shinobu tak bisa menjaga kesadarannya. Saat itu dia hanya dapat mendengar suara tembakan yang beberapa saat kemudian diikuti dengan kericuhan di kejauhan. Shinobu dapat menebak jika Rushpet berhasil melaksanakan tugasnya.

Kesadarannya masih tersisa sedikit saat ia merasakan sakit seperti sengatan di lengannya.

“Jangan khawatir, aku baru saja menyuntikkan antidot kepadamu,” ucap Rushpet pada Shinobu yang tergeletak di bak sampah.  Dia lalu melanjutkan perkataannya, “Tugasku di sini sudah selesai, Bocah Asia. Mata ashita!”

“’Mata ashita’ digunakan untuk ‘sampai jumpa’, jika kau mau pergi seharusnya ucapkan ‘sayonara’...” gerutu Shinobu dalam pengaruh penawar racun yang membuat bicaranya melantur. “... juga, aku bukan Bocah Asia. Namaku Shinobu.”

Rushpet hanya tertawa kecil mendengar celotehan Shinobu.

“Kalau begitu... mata ashita, Shinobu-san!”

***
Nyatanya, Shinobu dan Rushpet tidak benar-benar berpisah. Sehari setelah Shinobu dirawat di Sapporo City Hospital, orang-orang dengan pakaian serba hitam mendatangi ruang rawat. Awalnya Shinobu berpikir mereka adalah pihak kepolisian namun saat melihat seseorang di antaranya, ia sadar jika mereka berasal dari Pemerintah Dunia. Shinobu mengingatnya saat melihat seseorang yang menjadi bodyguard Senketa saat berada di SCH.

“Bagaimana dengan lehermu, Tuan Takagami Shinobu-san?” ucap seorang yang terlihat paling penting di antara mereka.

“Sudah baik-baik saja, kurasa.”

Lalu, mereka mulai berbasa-basi singkat dan membahas sedikit banyak tentang kasus pembunuhan Senketa. Bagaimanapun, Shinobu adalah satu-satunya yang berkontak langsung dengan pembunuh Senketa sehingga ia merasa wajar jika Pemerintah Dunia ingin tahu. Hanya saja, percakapan yang mereka lakukan sangat tidak mencerminkan urgensi untuk sesegera mungkin menangkap si pembunuh. Apalagi saat tiba-tiba mereka membukakan sebuah koper berisi 12 batang emas masing-masing 1 kg. Logam yang sangat langka sejak konsumsi besar-besaran di awal abad 21-an.

“Pembunuhan Senketa adalah proyek yang dilakukan oleh Pemerintah Dunia.”

Rasanya, seperti baru saja disengat oleh tawon tepat di tengkorak.

“Tu-tunggu! Maksudmu, selama ini Pemerintah Dunia adalah Anti-Sentient?”

“Tentu saja tidak, Nobu,” ucap pria itu berusaha akrab dengan memanggil nama kecilnya. “Saat ini setidaknya ada 11% populasi Sentient di dunia. Itu setara dengan seluruh penduduk Eropa. Kita tidak bisa begitu saja melakukan genosida pada Sentient.”

“Kalau begitu, apa maksud kalian dengan pembunuhan Senketa?”

“Sejak awal kami memutuskan Senketa Duta Perdamaian Dunia, sejak saat itu pula kami memutuskan jika Senketa bukanlah sebuah simbol.”

“Lalu apa?”

“Senketa adalah sebuah gagasan. Gagasan perdamaian antar ras. Kita hidup di dunia di mana masyarakat hanya mengapresiasi seseorang yang mati-matian memperjuangkan ideologinya. Dalam artian, mati sesungguhnya. Senketa harus mati untuk mendapatkan perhatian masyarakat dunia. Dia memang mati, tapi gagasan mengenai Senketa akan tetap hidup. Ini hanyalah langkah awal demi kemunculan Senketa-Senketa lainnya.”

“Itu... hanya akan membuat kekacauan dunia.”

“Ya, tapi jika demi perdamaian, apa salahnya?”

Shinobu termenung berusaha memahami pria di hadapannya. Dia tahu dunia ini sangat kacau balau. Pekerjaannya sebagai polisi sudah membuka matanya pada kondisi dunia yang sebenarnya. Eksekusi Senketa terdengar lebih lazim begitu Shinobu berusaha memaknai.

“Jadi, emas-emas ini untuk menutup mulutku?”

“Kau sangat memahami semua ini.”

Shinobu terkekeh kecil. “Aku ini polisi, kau tahu?”

Setelahnya, Shinobu menandatangani perjanjian yang untuk menutup mulut mengenai insiden tersebut. Sebelum pria itu dan orang-orang berpakaian serba hitam keluar ruangan, Shinobu menanyakan satu hal, “Hei, bukankah lebih baik kalian membunuhku untuk tutup mulut?”

Pria itu tertawa kecil sebelum berkata, “Seorang wanita dari Spanyol bernama Rushpet meminta kami untuk tidak melakukannya.”

Lalu, mereka pergi bersama sepi.

 “Kau sudah boleh keluar, Rushpet.”

“Eh? Ketahuan, ya?” ucap Rushpet keluar dari langit-langit kamar.

“Aku memasang kamera bidik di kornea mataku.”

“Wow... aku tidak pernah tahu kau memiliki gadget semacam itu. Pantas saja kau berhasil menembak peluru yang sudah meluncur di udara. Kau jadi seperti Sentient saja!”

“Aku juga tahu kau membawa takoyaki.”

“Kau juga memasang sensor penciuman di hidungmu?”

“Tidak. Cuma, aku sangat familier dengan bau takoyaki.”

Rushpet lalu mengeluarkan dua kotak takoyaki dari lipatan bajunya. Semuanya untuk Shinobu. Mereka berdua hanya duduk tanpa ada kata-kata terucap oleh mulut masing-masing. Baru setelah semua takoyaki itu dilahap Shinobu, Rushpet beranjak hendak pergi.

“Aku masih lama di Rumah Sakit ini. Besok, bisa kan kau bawa takoyaki lagi?”

“Aku ini bukan kurir, kau tahu?” gerutu Rushpet dengan sedikit senyum tersungging. “Lagipula, aku ini pembunuh bayaran. Mana sudi aku melakukannya secara gratis.”

“Kau boleh mengambil emasku.”

Rushpet memandangi koper berisikan emas di samping ranjang Shinobu lamat-lamat. Lalu ditatapnya wajah pria itu dalam-dalam sambil berkata, “Kalau begitu, mata ashita?”

Shinobu terkekeh kecil sambil menjawab, “Mata ashita.”

***

No comments:

Powered by Blogger.